Sastra Melayu Rendah

Asal Mu-asal
Sejak abad 16 orang-orang Hokkian sebagai golongan Tionghoa bermigrasi ke Indonesia. Jumlah orang Tionghoa mengalami peningkatan yang berlipat pada tahun 1860-1900. kemunculan sastra melayu rendah tionghoa dari lingkungan masyarakat golongan Hokkian ini yang kebanyakan memang bermukim di kota-kota Jawa. 
Sastra Melayu Rendah disebut sastra Melayu-Tionghoa, Melayu-China, Melayu-Pasar, atau Melayu Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Meski usianya tak terlampau lama, sejak
abad ke-19 hingga tahun 1960-an, telah mencatatkan peran penting dalam sejarah literasi di Indonesia.
Sebab utama munculnya Sastra Melayu Rendah Tionghoa adalah kebutuhan budaya kaum peranakan (kaum Hokkian) yang rata-rata kelas pedagang dan pengusaha itu, suatu kelas sosial yang dekat dengan keperluan pendidikan dan bacaan. Karena mereka tidak menguasai bahasa cina lagi, mereka hanya menguasai bahasa daerah setempat, bahasa belanda atau bahasa melayu rendah. maka pilihan untuk berkegiatan dalam budaya mereka dilakukan dalam bahasa-bahasa tersebut. Sastera melayu rendah menggunakan bahasa melayu pasar, yaitu bahasa melayu yang di gunakan sebagai bahasa perdagangan dan komunikasi sehari-hari di india dan belanda.
Sastra Melayu-Rendah paling banyak dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim dan berdomisili di Jawa. Mereka yang tak lagi menguasai bahasa leluhur menggunakan bahasa Melayu-Rendah sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai istilah, sastra Melayu-Rendah bermuatan politis. dimunculkan oleh Balai Poestaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk kesusastraan yang tak menggunakan varian linguistik Melayu-Riau sebagai bahasa yang tidak standar, rendah, cabul, dan liar.
IM Hendrarti menengarai, pemberian stigma buruk terhadap sastra Melayu-Rendah terkait dengan politik pembatasan penyebaran informasi yang dapat membahayakan stabilitas pemerintah kolonial. Pasalnya, Melayu-Rendah dianggap sebagai ragam bahasa yang biasa dipakai untuk kepentingan-kepentingan subversif, terutama oleh para jurnalis di era pergerakan. Sangat salah apabila dalam perkembangan sastra di negeri kita, Sastra Melayu Rendah Tionghoa dinisbikan. Bagaimanapun juga peranan Sastra Melayu Rendah Tionghoa dalam negeri ini cukuplah besar sebagai ihwal guru spiritual atau “ide” dari karya-karya sastra yang kemudian berkembang di negeri ini.

Ciri Khas
Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.  Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.  Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.  Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen-Red), dan Bumiputra.
Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.  Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.  Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia. Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu.  Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.  Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa. Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.

Masa Berakhir Sastra Melayu Rendah
            Pada saat pendudukan Jepang, karya sastra melayu rendah semakin sulit ditemukan dikarenakan pemerintah Jepang tidak membiarkan kebebasan untuk kreatif
berkarya. Selain itu saat Jepang menguasai Indonesia melarang diterbitkannya karya-karya sastra melayu rendah, bahasanya yang cabul, kotor, liar dan frontal, dicap berbahaya karena isinya mengungkapkan penderitaan dan keadaan pada saat itu semakin membuat kemarahan Jepang kepada orang-orang yang membuat karya sastra pada saat itu.
            Pada akhirnya karya sastra melayu rendah benar-benar tenggelam saat Indonesia merdeka karena pemerintah menyarankan bahasa yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dan bahasa melayu rendah kurang diminati oleh masyarakat Indonesia.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer