Awan Hitam di Musim Liburan

oleh Nisa Zahranisa

Pagi yang cerah. Seperti biasa, Goldi mendengkur manja di tubuhku. Dengan malas aku menarik selimut hingga ke ujung kepala. Tapi kucing lucu itu tak menyerah juga. Ia mengeong-ngeong keras sampai aku tak bisa menutup mata untuk yang kedua kalinya. Baiklah, aku bangun, batinku kesal. Kurapikan kasur dan selimut kupu-kupu kesukaanku.
Aku turun dan mulai membuat susu untuk Goldi dengan tanganku yang tidak patah. Sambil mengaduk terlintas di benakku peristiwa buruk yang terjadi beberapa minggu yang lalu.

*****
Sekarang adalah musim liburan. Huh, betul-betul membosankan, gerutuku dalam hati. Kami sudah terjebak macet disini selama dua jam. Padahal sekarang seharusnya kami sudah di Bogor, bersenang-senang dengan Ana, Nunik, dan Roni di Taman Safari serta menonton film The Hunger  Games; Catching Fire di bioskop. Kemudian mendapat angpau yang banyak dari Tante Siska dan Om Jerry. Sayang, kami terjebak macet disini. Kata pak polisi jalanan macet karena ada demo buruh. Bisa kubayangkan wajah mereka yang kecewa karena kami tak kunjung datang. Aaah…seharusnya ini menjadi liburan yang menyenangkan.
Kumainkan rambut ikalku sambil membaca novel The Hunger  Games; Catching Fire. Kubuka satu persatu halamannya dan membacanya dengan serius. Menurutku kalau membaca novelnya terlebih dahulu, menontonnya pasti lebih seru. Ya kan?
Tak terasa waktu telah lama berlalu. Kini novel tersebut telah selesai kubaca. Sekarang apa yang harus kulakukan? Kulihat sekeliling. Ayah membaca koran sambil menyesap aroma kopi hitam favoritnya. Ibu menyulam syal dan sweater untuk Ana, Nunik, dan Roni. Kakak sedang asyik memainkan I Pad sambil mendengarkan musik. Adik bermain boneka Barbie The Princess and The Pauper.
Lalu kulihat sekeliling jalan. Siapa tahu ada yang menarik. Ada pedagang asongan, Pizza Hut, KFC, sandiwara topeng monyet, dan….sebuah taman yang sangat indah. Pohon-pohon dan tanaman kecil ditata dengan apik. Bangku-bangkunya dihias dengan relief berseni tinggi. Kemudian ada air mancur yang diberi efek warna-warni. Aku pun tergoda dan ingin sekali menuju tempat tersebut.
“Ayah, boleh aku ke taman itu ditemani Ayah?”, tanyaku pada ayah. “Jangan! Nanti anak Ayah yang cantik diganggu laki-laki di situ”, canda ayah. Aku tertawa. “Ibu, boleh tidak aku aku ke taman itu ditemani Ibu?”, tanyaku pada ibu. “Pergi saja sendiri. Ibu sedang sibuk”, jawab ibu tak peduli sambil melanjutkan rajutan syalnya. “Kalau kakak? Kakak mau tidak?” tanyaku penuh harap. “Kamukan udah gede, ngapain ditemen-temenin”, cibir kakakku sambil memainkan I Padnya. Aku mendengus kesal. Seperti biasa, jika aku mencoba meminta bantuan, kakakku selalu menolaknya. “Kalau Ade? Ade mau temenin Kakak ke taman gak? Nanti Kakak jajanin makanan yang Ade suka terus kita main disana”, rayuku kepada adikku. “Gak mau ah Kak, lagi seru nih mainnya. Lihat, putrinya diserang alien luar angkasa. Syuuuut ayo lariii!”, celoteh adikku tak jelas. Akhirnya tak ada satupun yang mau menemaniku main ke taman. Aku pergi sendiri.
Di taman aku berjalan-jalan sebentar, menikmati semilir angin yang memainkan rambutku serta keindahan pohon dan tanaman-tanaman lainnya. Kemudian aku mulai menggambar di salah satu bangku di sudut taman.
“Hei, sendiri nih?” tanya seseorang dengan suara yang berat. Aku mendongak keatas. Karena keasyikan menggambar, aku tak sadar kalau aku sudah dikerumuni laki-laki. Jumlahnya kurang lebih sepuluh orang. Aku merinding ketakutan. Apa yang ayah katakan padaku sekarang terwujud.
“Nama lo siapa?” tanya salah seorang berambut cepak dan beranting perak. Kalau aku ketakutan, aku sama sekali tak bisa berpikir jernih. Dalam kondisi seperti ini apa yang harus kulakukan? Aku tak pandai mengarang-ngarang cerita. Akhirnya aku menjawab dengan jujur, “Namaku Ana”. “Kelas berapa?” kini yang bertanya adalah pria bertubuh gempal. “Kelas enam SD”, jawabku. Aku sangat ketakutan. Kuraba sakuku mencoba mencari HP, menghubungi keluargaku. Tidak ada. Pasti tertinggal di mobil. Betapa bodohnya aku. “Lu dari mana?” tanya pemuda berkumis panjang seperti orang Arab. “Garut”, jawabku singkat.
Lalu mereka mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan basa-basi kepadaku. Aku hanya menjawab ala kadarnya sambil berpikir keras bagaimana caranya supaya bisa lolos. Tubuh mereka kekar dan besar, tak mungkin aku lawan. Selain itu jumlah mereka banyak.
“Hei, foto bareng yuk!” usul laki-laki yang berkacamata. Teman-temannya menatapku dan mengangguk-angguk tanda setuju. Kupaksa diriku tersenyum semanis mungkin dan berfoto bersama mereka. Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam aku menulis kata sandi SOS yang hanya diketahui oleh aku dan kakakku di buku gambarku, menceritakan secara singkat apa yang terjadi, ciri-ciri mereka, dan kemungkinan aku akan dibawa kemana.
Kemudian ketika aku sedang menulis kata sandi terakhir ada yang menepuk pundakku. Aku langsung lemas tak berdaya. Kepalaku pusing dan mataku berkunang-kunang. Semua menjadi gelap. Samar-samar aku mendengar tawa mereka. Kemudian aku tak sadarkan diri.
*****
“Ana kemana sih? Kok lama ya? Biasanya kalau pergi juga cuma sebentar, gak pernah selama ini”, gumam kakak dengan heran. “Coba kamu cari Adikmu sebentar”, perintah ayah dengan tegas. “Baik”, jawab kakak sambil memasukkan I Padnya ke dalam tas.
Kakak mulai mencari Ana di taman. Dia mencari-cari ke seluruh sudut. Kakak hampir putus asa dan hendak mencari di tempat lain, sampai ia melihat buku gambar milik adiknya. Kakak berlari dan segera mengambil buku gambar tersebut. Ia melihat kata sandi yang tadi Ana tulis dan mulai membaca dengan seksama. Wajahnya pucat. Ia berlari panik dan mencari pak polisi.
“Tolong Pak, Adik saya diculik!” lapor kakak panik kepada pak polisi. “Bagaimana ciri-cirinya?” tanya pak polisi dengan serius. Kakak menceritakan semuanya, mulai dari Ana pergi ke taman, menghilang, sampai ia menemukan buku gambar adiknya yang penuh sandi. Pak polisi segera menghubungi polisi-polisi lainnya. Lalu mereka berdua sibuk mencari. Di tengah jalan mereka  saling bertukar nomor HP dan berpencar.
*****
Setelah beberapa saat kesadaranku perlahan-lahan pulih. Kulihat keadaanku yang menyedihkan. Mulutku disumpal, tangan dan kakiku diikat di tiang listrik. Aku hanya bisa diam tak berdaya. Tepat seperti dugaanku, mereka menyembunyikanku di gang yang kecil dan sempit. Ini benar- benar liburan terburuk yang pernah kualami. Aku sangat berharap kakak melihat buku gambarku di taman. Kulihat gerombolan laki-laki penjahat menyebalkan itu sedang mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan terhadapku.
“Bagaimana kalau kita jual saja ke langganan kita disini?” usul seseorang berkulit hitam legam. “Jangan, kita kirimkan saja kepada langganan kita di luar negri. Pasti terjual mahal”, jawab pria yang bertubuh paling kekar. Kemudian ada yang menyahut,”Bagaimana kalau kita….”
“Hentikan penjahat kejam!” potong kakakku. Aku sangat gembira. Secercah harapan mulai merambat dalam pikiranku. Kakak adalah ahli judo yang hebat. Prestasinya sangat cemerlang. Ia sudah mendapat 10 medali emas dan 5 medali perak. Baginya, mereka bukan apa-apa di hadapannya.
Hanya dalam beberapa menit kakakku dapat merobohkan semua penjahat. Setelah selesai membereskan orang terakhir dia bergaya ala Sherlock Holmes. Aku tertawa geli. Kemudian ia menelepon pak polisi, memberitahu posisinya, dan melepaskan sumpalan mulut serta ikatan taliku perlahan-lahan.
“Maaf ya, Kakak tidak mau menemani kamu tadi. Seandainya Kakak mau menemani kamu, kamu….tak akan pernah mengalami kejadian ini”, sesalnya. “Tak apa-apa Kak, yang pentingkan Adik kesayangan Kakak ini selamat”, jawabku sambil tersenyum. Sesuatu yang tak pernah kulihat terjadi. Mata kakak berkaca-kaca. Kemudian kakak memelukku. Meskipun ragu aku balas memeluknya dengan sangat erat.
Tapi kebahagiaan kami tak berlangsung lama. Ternyata masih ada lima anggota lain dari kelompok jahat itu. Dengan mengendap-endap mereka mendatangi kami. Ketika aku sadar mereka mendatangi kami, aku langsung berteriak “Awas!”. Tapi terlambat. Mereka sudah memukuli kakak dengan palu sampai pingsan dan mengikatnya di tiang listrik.
“Ayo sini manis”, seringai pemuda berambut kribo. Aku ketakutan. Aku berusaha lari secepat mungkin, tapi aku kurang cepat. Mereka menangkapku dan langsung mengunci tanganku. Aku menjerit kesakitan. Aku mencoba menggerak-gerakkan tanganku yang mati rasa. Tapi tidak bisa.  Sepertinya tanganku patah.
Tepat ketika mereka memaksaku meminum cairan aneh, polisi datang mengepung mereka. Polisi-polisi gagah berani itu langsung menahan semua anggota klompotan jahat yang ada di gang kecil ini.
Kulihat kakakku yang penuh dengan luka lebam melepas ikatanku dan menatapku khawatir. Aku tersenyum lemah berusaha membuatnya tenang. Kemudian pandangan di sekitarku mulai gelap. Hal yang terakhir yang kuingat adalah kakak menggendongku menuju ambulance.
*****
Tiba-tiba Goldi mendengkur keras menyadarkanku dari lamunanku yang panjang. Ia berusaha menggapai tanganku untuk meminta susunya. Aku tersenyum geli melihat kelakuannya. Kutuang susu kesukaannya dan menyalakan TV.
Kini kabar tentang penyulikanku tersebar dimana-mana. Ternyata penculikku adalah buronan yang sedang dicari-cari. Kulihat diriku yang sedang diwawancara reporter. Mungkin, untuk sementara aku jadi terkenal. Telepon dari teman-teman datang bertubi-tubi menanyakan keaadaanku.
Setelah beberapa menit berlalu Morning News beralih memberitakan kakakku. Sekarang kakakku menjadi sangat terkenal. Bahkan ia mendapatkan penghargaan dan diminta untuk membintangi beberapa film action. Dengan senang hati ia menerimanya. Selain itu sikapnya menjadi lebih baik kepadaku sejak saat itu. Ketika aku pingsan, samar-samar aku mendengar kakak membisikkan sesuatu di telingaku, “There’s always a beautiful rainbow behind every black clouds.”













Komentar

Postingan Populer