TANGIS RAHWANA
Soni
Farid Maulana
“SUNGGUH tak
pernah saya duga,kita bertemu disini – setelah berpisah ratusan tahun, bahkan
ribuan tahun lalu. Sungguh tak pernah saya duga; kita bertemu dalam suasana
yang sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi di masa lampau. Sita, apa
kabar selama ini?” ujar Rahwana,yang secara kebetulan malam itu dirinya bertemu
dengan Sita pada sebuah café di bilangan Bukit Dago Utara, di penghujung Abad
20.
Saat ini sesungguhnya Rahwana ragu-ragu menyapa
seorang perempuan yang ada di hadapan dirinya. Perempuan tersebut
baru saja turun
dari sebuah kendaran roda empat yang dikemudikannya sendiri. Rahwana yakin,
bahwa perempuan yang disapanya itu : Sita. Sita yang ditatap dan ditanya
Rahwana seperti itu, hanya bengong. Ia berfikir keras-mencoba mengingat-ngingat
lagi segala apa yang dialaminya di masa lampau, apa pernah ia bertemu dengan
seorang lelaki yang kini menyapa dirinya?
Tiba-tiba bagai disambar petir, Sita terkejut
sendiri. Ia yakin betul bahwa lelaki yang ada dihadapan dirinya itu, memang
pernah dikenalnya, dulu ratusan, mungkin ribuan tahun lampau.
“Rahwana, benarkah?” Tanya Sita, pelan dan datar.
Seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang dialaminya saat itu.
“Ya!” jawab Rahwana sambil menarik nafasnya
dalam-dalam. Lalu ditatapnya Sita dengan penuh perasaan. Rahwana tidak menduga
bahwa dalam pertemuannya dengan Sita kali ini ternyata memberikan sebuah
pengalaman yang lain. Rasa cintanya terhadap Sita masih tetap menyala dan
bahkan tetap membara sekalipun Rahwana sadar bahwa kini dirinya bukan lagi
orang yang berkuasa. Ia telah lengser dari kursi kekuasaannya di Kerajaan
Alengka.
Konon,
setelah bebas dari hukuman yang dijatuhkan Hanoman dirinya, Rahwana tidak sudi
lagi kembali ke dalam teks dunia perwayangan. Ia lebih baik mengembara ke dunia
nyata, yakni dunia manusia. Ia hidup di penghujung Abad 20, jadi penyair.
Bekerja sebagai wartawan pada sebuah media massa terkemuka dikota ini. Setiap
malam jiwanya yang romantik itu selalu membawa tubuhnya mengembara dari café ke
café, atau mengembara dari remang lampu ke remang lampu warung kopi di pinggir
jalan. Semua itu dihayatinya, kemudian direkam dan dikekalkannya dalam Berabagai puisi yng ditulisnya. Selalu dari
sekian puisi yang ditulisnya itu ada yang ditujukan untuk orang yang
dicintainya, sita. Salah satu puisi yang dimuat I majalah sastra terkemuka di
negeri ini, majalah sastra garis itu
berbunyi begini:
Lingkaran
Bulan
-
Untuk
sita
Ya, memang jarak dan bahasa memisah kita
Tapi rinduku padamu adalah hembusan angin
Yang berdesau dan berdesau
Dari dahan ke dahan cemara. Mengalir dan berdesir
Mencari keteduhan hatimu. Mlam alangkah dingin
Di sini. Suara kendaraan menghilang dalam
Pendengaran, tiang listrik dipukul orang: -- bunyinya
Menggema dalam batinku, mengekalkan kerinduanku
Padamu
Malam alangkah kelam
Maut yang bengis bertudung kian hitam.
Masih kuingat di tepi telaga di alengka
Hangat desah nafasmu yang lembut
mengguncng perasaanku yang dalam
tanpa jarak dan bahasa
1997
Kini rahwana
benar-benar merasa tenteram hidup jadi rakyat biasa di alam nyata – daripada
hidup jadi penguasa yang serakah dan lalim bahkan zalim di dalam teks
pewayangan. Hal itulah yang kini disesalkannya. Betpa atas seluruh
tindak-tanduknya ketika itu – bukan memberikan kebahagiaan pada rakyat yang dirajainya,
malah sering menghadiahinya dengan berbagai kesengsaraan. Kesengsaraan yang
demikian pahit itu, diterima pula oleh segenap keluarga dan kerabatnya.
Setelah bertobat, tujuan rahwana ke alam nyata di
penghujung abad 20, tiada lain ingin mnguburkan segala pengalaman buruknya di
masa lalu. Ia ingin menghapus seluruh pngalaman hidupnya yang pahit ketika
lamarannya yang pertama saat itu ditolak
sita, sekalipun pada saat itu sita telah berhasil diculik oleh rahwana dari
tangan rama yang pada saat tu adalah suami resmi sita. Akibat dari tingkah
lakunya yang kurang ajarmencuik sitadari tangan rama, rawana harus menrima
hukum yang kelak dijathan rama, antaralain perang. Negarana dihancur leburkan.
Kekuasaannya dipereteli, sehingga sosok Rahwana sebagai Raja Alengka yang
angker—seketika tidak lagi punya wibawa d mata rakyatnya sendiri. Derajatnya
langsung anjlok lebih rendah dari seorang budak. Atas perintah Rama, Hanmanlah
yang menjtuhkan hukuman keras pada dirinya. Iulah masa-masa pahit yang cukup
disesalkannya.
“Saya tidak percaya, kita bisa bertemu di sini, di alam
ini,” ujar sita sambil menatap Rahwana
Syukurlah aku selamat. Taka
da satupun bara api yang sanggup membakar pakaianku, apalagitubuhku. Aku
selamat,” tutur Sita, sambil menarik nafasnya pelan-pelan, dan kemudian
dihembuskannya sea perlahan pula.
“Setalah itu bagaima?” Tanya Rahwana, penasaran.Rahwana
tidak menyangka bahwa apa yang dialami oleh Sita bakal setragis itu.
“Rama tetap tidak puas. Ia masih curiga padaku. Aku
selamat, tuduhnya, karena dislamatkan oleh dewa-dewa dari khayangan yang jatuh
cinta padau? Terus terang mendapatkan tuduhan semacam itu—hatiku terasa pedih.
Setelah itu aku lari, menyemplungkan diri kembali ke dalam kobaran api. Dalam
kobaran api yang kedua itulah—aku berpikir, apa tidak lebih bak aku melupakan
seluruh peristiwa tersebut dengan cara meninggalkan dunia teks pewayangan?
Keputusan diambil, ada baiknya aku lari saja ke dunia nyata. Dunia manusia. Ah,
seandainya kau tidak menculik diriku saat itu, tentu ceritanya akan lain. Terus
terang hingga kini aku belum disentuh oleh rama,” jelas Sita.
Mendengar
pengakuan Sita seperti itu, Rahwana merasa bahwa dirinya masih punya harapan
untuk bisa menyunting Sita. Setiap perkataan Sita disimaknya dalam-dalam. Suara
lembut yang mengalun dari bibir Sita itu didengarnya dengan telinga hatinya terdalam. Sesekalinya
ditatapnya wajah Sita yang cantik itu, wajah yang mengalirkan desiran-desiran
tertentu pada jantung dan perasaan Rahwana
Dalam-dalam. Keduanya dalam terpaku, dan bahkan beku
seperti batu-batu dasar kali, tak bergeser sedikitpun dari tempatnya ketika
diseret arus kali yang kuat ke hilir. Keduanya tenggelam dalam gejolak pikiran
dan perasaan masing-masing. Setelah makanan dan minuman yang dipesan keduanya
dihidangkan oleh dua orang pelayan, tanpa diminta Sita kembali pembuka
pembicaraannya.
“Ternyata kesetiaan saya pada Rama tidak ada artinya
sama sekali,” ujar Sita keceplosan ngomong. Namun setelah berkata demikian
perasaannya terasa ringan. Seakan-akan bebas dari segala himpitan beban batin
yang menimpa dirinya selama ini. Kini perasaanya benar-benar ringan,bagai
secuil kapas yang diterbangkan angina kelangit yang jauh. Langit yang penuh
harapan. Langit yang ditujunya itu adalah langit yang sarat dengan cahaya
kesejatian cinta.
“Maksudmu?”
“Rama tetap menuduh saya melakukan hubungan gelap
dengan dirimu, Rahwana? Untuk
membuktikan apakah diri saya masih suci atau tidak, lalu diujinya saya. Saat
itu saya harus melintasi kobaran api sepanjang tiga puluh ribu meter. Kobaran
api yang disediakan Rama itu, demikian besar dan panas. Sampai-sampai dalam
jarak lima puluh meter dari kobaran api tersebut ujung tombak para pegawai pun
meleleh. Ujian yang berat itu aku hadapi denga perasaan yang tenang. Aku
menyerahkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Yang membuatnya mabuk kepayang. Dirinya seakan-akan
tidak kuat lagi untuk menahan nafsu birahinya. Tapi demi hidup langgeng di muka
bumi, ia hilangkan segala perasaan yang akan mengakibatkan bangkitnya nafsu
buruk didalam kalbunya sendiri.
Meski umurnya sudah ratusan tahun, wajah Sita yang
ada dihadapan dirinya itu tetap cantik. Masih segar dan bugar, seakan-akan baru
menginjak umur 24 tahun. Malam semakn larut dan tua, dan Sita kemudian
menyeruput segelas minuman yang dipesannya itu. Demikian juga Rahwana.
“Mengapa waktu itu kau menculik diriku? Apakah benar
ketika kau menculik diriku pada saat itu- kau jatuh cinta padaku, ataukah
karena nafsu semata?” Tanya Sita. Matanya menatap tajam wajah Rahwana
memalingkan mukanya karena tidak kuatnya memalingkan mukanya karena tidak
kuatnya menahan nafsu dan malu sekaligus atas tingkah-lakunya sendiri di masa
lampau.
“Dulu,” kata Rahwana, “ ketika aku menculikmu untuk
pertama kalinya, terus terang karena nafsu. Tapi setelah kau kutawan dengan
waktu yang cukup lama sehingga akhirnya Rama dan Hanoan membebaskan dirimu-
perasaan yang sarat dengan nafsu birahi itu ; secara perlahan-lahan berubah
menjadi rasa cinta dan kasih saying. Sama seperti dirimu aku lari dunia teks
perwayangan karena tidak kuat menanggung derita yang demikian menghimpit
perasaanku. Derita yang kutanggung itu, bukan karena aku mendapat hukuman yang
berat , tapi karena tidak kuat harus berpisah dengan dirimu, cintaku,” ujar
Rahwana.
Sekali lagi, Sita terpana mendengar penjelasan
Rahwana semacam itu. Lalu ditatapnya kedua bola mata Rahwana yang bercahaya
oleh perasaan cinta. Keduanya saling tatap, beradu pandang.Seketika keduanya
mendapatkan pencerahan spiritual. Perasaan keduanya menjadi tenang, bagai
permukaan air laut tanpa gulungan ombak. “ Ada yang berubah dalam diri
Rahwana,” batin Sita. Lalu Sita menundukan kepalanya. Tiba-tiba Sita merasa
bahwa dirinya menemukan kesejatian cinta pada diri Rahwana dan bukannya pada
Rama yang dulu pernah dicintainya secara mati-matian.
“Rahwana, apa arti cinta bagi dirimu?” Tanya Sita.
Mendapat pertanyaan yang demikian, sesaat Rahwana gelagapan. Namun ia secepat
itu harus mampu menguasai dirinya dengan tenang. Harus mampu berfikir jernih
dengan hati yang wening.
“Cinta,” jawab Rahwana dengan suara agak tertahan
yang diliputi oleh rasa malu,” tidak dijelaskan dengan kata-kata. Tapi saya
bisa merasakannya. Yang jelas, kalau engkau setuju, saya ingin melamarmu hari
ini juga. Mari kita lupakan masa lampau yang kelam itu. Mari kita bangun dunia
baru dengan matahari yang baru. Cinta bagi saya, adalah persatuan dua jiwa dua
sukma tanpa sedikitpun keduanya mengalami hati yang luka. Jika pun ada luka
yang saling menghancurkan perasaan masing-masing, tapi luka yang saling
menunjukan arah dan jalan pada kebaikan hidup yang kelak kita tempuh kemuka.
Sita, apakah kau siap menerima diriku?”
Ya!”
“Walau saya tidak punya kekuasaan apapun?
Ya!”
“sekarang dimuka bumi ini saya tidak lebih dari
rakyat, hanya rakyat. Saya bekerja jadi Wartawan. Kadang-kadang meliput
pertunjukan teater, seni lukis dan acara-acara di CCF di bandung atau di GK.
Rumentang Siang dan di TM Jakarta. Kadang-kadang meliput berbagai peristiwa
siding criminal di PN Bandung. O, ya, kau sendiri bagaimana?
“Saya?”
“ya!”
“Saya sekarang ngajar di FRSD Taman Sari, Jurusan
Seni Murni. Saya mengajar teori seni, sejarah seni dan filsafat seni.
Sudahlahkita tunda dulu tentang identitas kita masing-masing. Saya ingin
bertana padamu lebih jauh, apa yang kau maksud dengan cinta itu? Terus terang,
saya bisa menerima sekaligus memahami perasaanmu. Tapi tolonglah saya beri
pemahaman lebih jauh lagi tentang cinta. Tapi sebelum kau menjawab
pertanyaanku, ada baiknya kita makan dulu. Sayang kalau makanan yang kita pesan
dingin sudah,” ujar Sita sambil meremas tangan Rahwana.
Diremas tangannya seperti itu, Rahwana nyaris tidak
percaya. Didalam hatinya tiba-tiba terdapat sehamparan kebun bunga yang tumbuh
dan berkembang dengan amat suburnya.
Burung-burubg disitu menyanyi merdu, dan sejumlah kupu-kupu tiada henti hilir
mudik kesana kemari.
“ya, sebaiknya kita makan dulu,” jawab Rahwana,
tangkas dan tegas.
SEUSAI makan
malam, dan bercakap itu ini, Sita dan Rahwana segera meninggalkan café
tersebut. Dihalaman parkir, sebelum Sita masuk kedalam mobil yang
dikemudikannya sendiri, Sita kembali meminta Rahwana agar dirinya segera
mengemukakan pendapatnya tentang cinta itu. Alasannya, Sita tidak ingin
menghadapi hidupyang kedua penuh dengan rasa kecewa.
“ya, bicaralah. Aku akan mendengarnya dengan
sesungguh hati!” jawab Sita.
“Baiklah.Dengarkanlah baik-baik. Cinta adalah setangkai bunga bakung/ yang
dipangkas orang dari tangkainya/ bunga itu akan layu.// kini jiwaku yang kayu
itu/ yang terpisah dari hidupmu itu/ mendadak mekar.// mendadak punya akar
tertanam ke tanah/ Engkaulah tanah itu cintaku,” jelas Rahwana.
Mendengar jawaban semacam itu, Sita merasa bahagia.
Belum pernah sita mendengar kata0kata seindah itu. Ia tidak pernah mendengar
omongan yang demikian menggetarkan jiwanya itu diucap oleh Rama, sekalipun
memang Rama pada saat-saat pacaran dengan Sita bersikap lembut pula.
“Terima kasih Rahwana. Kini aku yakin dengan
keteguhan hatimu mencintai diriu. YTapi untuk sementara berilah aku waktu yang
cukup luang. Aku akan berfikir lebih jau lagi, apakah aku akan segera menerima
lamaranmu atau tidak? Aku harus berfikir masak-masak tentang hal ini. Soalnya
kita hidup dalam ikatan perkawinan bukan untuk waktu sehari atau dua hari saja.
Tapi untuk ratusan bahkan ribuan tahun kedepan. Aku sendiri kini bukan lagi
pantai yang indah,” papar Sita.
“Saya Mengerti. Demikian pula saya. Saya bukan pula
langit yang bersih. Pengalamat saya dimasa lampau sarat dengan noda kehidupan.
Sita, aku merasa bahagia walau kau baru berucap menerima cinta saya-dan belum
memutuskan kelak kau menerima lamaran saya atau tidak,” jawab Rahwana. Keduanya
lalu bersalaman, dan bahkan berpelukan.Sita masuk ke dalam mobil yang dibawanya
sendiri,sementara Rahwana menolak diajak pulang bersama. Alasannya masih ada
keperlun lainnya, yang harus diliputnya. Sesaat kemudian mobil yang ditumpangi
Sita lenyap di belokan sana. Rahwana kemudian jalan kaki meninggalkan elataran
parkir tersebut. Angin malam bertiup dengan amat kencangnya hingga daun-daun
berguguran sepanjang Jalan Dago yang sunyi dan sepi pada malam itu.
Dilangit sana bulan masih bercahaya dengan amat
terangnya. Satu dua mobil yang melintas disitu meninggalkan gema
berkepanjangan. Tidak jauh dari tempat sampah, tiba-tiba Rahwana dicegat oleh
seorang lelaki dengan kepala ditutup kupluk, ala ninja, lelaki itu tanpa
basa-basi menusukan senjata tajam yang degenggamnya kea rah dada Rahwana.
Sesaat Rahwana bisa berkelit, tapi tak urung senjata tersebut bersarag pada
perut lainnya. Rahwana mengerang kesakitan. Ia menyesal ketika lari ke dunia
nyata pada saat itu,segala kesakitan yang dipunyainya dimusnahkannya. Tidak
puas dengan tikaman tersebut, si lelaki berdarah dingin itu-kembali menikamkan
senjata yang sarat dengan denda itu berulang-ulang ke arah dada Rahwana hingga
darah segar membasahi sebagian badan Jalan Dago yang dilalui Rahwana. Sesaat
kemdian Rahwana tersungkur. Lelaki yang berpakaian ala ninja itu kemudia
lari-setelah yakin korbanya tengah merengang nyawa. Rahwana sempat melihat
kearah mana lelaki pengecut itu lari. Ternyata ia lari kedalam lembaran komik
wayang klasik yang ada di tempat pembuangan sampah. Komik itu separuh dari
tebal bukunya sudah termakan apai. Komik perwayangan karangan Adipati Godi
Suwarna itu berjudul Legenda Rama &
Sita.
“Sejak dulu engkau memang pengecut. Untuk mengambil
Sita dari tanganku, engkau menggunakan tangtan Hanoman. Siapa lagi kalau bukan
engkau yang bersikap culas seperti ini?” desah Rahwana sesaat sebelum nyawanya
dicabut oleh malaikat maut.
Cahaya
bulan masih terag dilangit sana. Sesaat kemudian harum kembang cempaka dan
melati memenuhi udara. Dari ketinggian langit sana turun bidadari menyambut
nyawa Rahwana yang terbang ke langit. Nyawa yang bebas dari segala nafsu jahat
di muka bumi. Nyawa yang bahagia menerima rasa cinta dan kasih saying dari
Sita.
Sementara itu delapan kilo dari tempat kejadian,
dirumahna, Sita tak habis-habisnya berfikir; mengapa dirinya bisa bertemu
dengan Rahwana? Ada perasaan bahagia yang akan segera dibawanya ke alam mimpi.
Saat itu, Sita berharap hari akan segera siang. Ia ingin benar bertemu dengan
Rahwana disuatu tempat yang lebih romantic. Dimana keduanya bisa mengutarakan
perasaannya masing-masing secara lebih transparan.
“Sita, Sita!
Rahmat atau bencana benih cinta yang kutanggung ini,” ujar Rahwana seiring
perjalanan nyawanya meninggalkan jasad kasarnya.***
2
maret-10 juli 1998
H E B A T
BalasHapus