essay: sudahkan korupsi menjadi budaya??


Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di Negara Indonesia. hal ini berimplikasi pada rating negara kita yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi yang terjadi di negara kita ini telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih  di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi akan dan sedang menciptakan manusia Indonesia yang
easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah hal yang baru. Tapi kini tindakan korupsi seolah-olah menjelma menjadi sebuah tindakan yang tidak diharamkan oleh agama sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang.
Budaya muncul akibat adanya hasil pembelajaran yang melibatkan suatu kelompok untuk mendapatkan kesepakatan bersama dalam menjalankan aktivitas kelompok tersebut yang disesuaikan dengan nilai, norma dan aturan dari pola pikir yang telah disepakati bersama.  Keterkaitan nilai dalam sebuah dimensi budaya, sangatlah penting, karena penyalahgunaan nilai dalam budaya dapat berdampak negatif, contohnnya saja dalam korupsi. Terkait dengan permasalahan budaya korupsi di Indonesia, di sini saya mencoba mengarah kepada sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Hofstede (1980) tentang budaya yang telah menghasilkan dimensi budaya pada beberapa negara. Terlepas dari kritikan-kritikan yang telah ada, Hofstede (1988) menjelaskan adannya dimensi-dimensi dalam budaya, dan dimensi itu terbagi menjadi 5 dimensi. Dimensi-dimensi itu adalah;
  1. PDI (power distance index); PDI adalah sebuah tingkatan yang terkait dengan sebuah kekuasaan di dalam suatu organisasi. Rendahnya kekuasaan yang dimiliki anggota dalam instansi maupun organisasi yang dapat diterima dan dihargai dapat memunculkan sisi negatif yang menjadikan sebuah ketidaksamaan. Jadi, anggota dalam sebuah organisasi atau institusi memiliki sebuah kekuasaan yang bervariasi. Hal ini menggambarkan sebuah ketidaksamaan (more versus less) yang yang berada dari bawah tetapi bukan dari atas. Ketidaksamaan dalam level masyarakat diikuti para pengikut yang berada di bawah dan mengacu seperti apa yang telah dilakukan para atasan.
  2. IDV (individualism); merupakan perlawanan dari kolekstifisme. Dalam hal ini kolektifisme individu dilekatkan pada kelompoknya, kohesivitas dalam kelompok sangat tinggi. Pada karakter individualism maka hubungan antar individu terlihat hilang, identifikasi terlihat pada diri pribadi baru.
  3. MAS (masculinity); merupakan kebalikan dari feminimitas. Dalam dimensi ini terkait pada sebuah kedudukan maupun nilai gender yang terdapat pada suatu daerah atau negara. Konteks kedudukan seorang laki-laki dan perempuan dalam beberapa daerah memiliki sebuah perbedaan pengakuan.
  4. UAI (Uncertainty Avoidance Index); merupakan yang terkait dengan urusan toleransi akan sebuah ambiguitas dan ketidakpastian. Pada budaya yang tidak mampu menerima sebuah ketidakpastian lebih emosional dan terdorong oleh sebuah energy kegelisahan, meminimalkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ketat. Pada budaya yang mampu menerima sebuah ketidakpastian maka mereka mampu menerima perbedaan dengan menggunakan beberapa aturan yang bisa diterima.
  5. LTO (Long Term Orientation); merupakan dimensi yang berlawanan pada orientasi jangka pendek. Dalam komunitas yang memiliki dimensi LTO yang tinggi maka diasosiasikan dengan keadaan akan tingkat penghematan dan ketekunan yang dimiliki oleh sebuah komunitas.
Budaya tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang memiliki sudut pandang psikologi.  Dengan mencoba memunculkan sebuah alur berpikir yang subjektif, maka munculnya sebuah perilaku korupsi pada bangsa kita. hal ini bisa dimunculkan dengan melakukan sebuah analisa yang cukup sederhana dengan mengacu pada dimensi-dimensi budaya dalam kajian Hofstede (1988).
Namun jika kita menelisik motif dari perilaku korupsi maka kita akan temukan hubungannya meskipun secara tidak langsung dengan kebudayaan. Korupsi pada dasarnya sebuah tindakan kriminal baik terhadap hukum maupun terhadap nilai yang ada dalam masyarakat. Sedangkan kebudayaan adalah sebuah nilai etis untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian tindakan korupsi dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.  
Pada umumnya setiap orang yang melakukan korupsi dilatarbelakangi oleh keinginan personal atau kelompok tertentu untuk memeroleh bahagiaan(Bandingkan dengan pengertian dan motif  korupsi di atas). Kebahagiaan yang merupakan nilai diperjuangkan dan dicita-citakan oleh setiap orang agar ia memeroleh hidup yang layak sebagai seorang manusia. Maka korupsi merupakan instrumen untuk mengejar nilai  kebahagiaan itu. Keinginan untuk melakukan  korupsi menjadi salah satu sarana untuk merealisasikan cita-cita kebahagiaan hidupnya meskipun jalan yang ditempuh justru melanggar norma atau nilai yang ada dalam masyarakat itu. Jika kita menyimak motif korupsi ini maka kita akan menemukan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Unsur-unsur itu adalah nilai kebahagiaan yang justru melekat dalam diri manusia itu sendiri dan adanya usaha untuk merealisasikan cita-cita kebahagiaan hidup.
Selain itu mentalitas korupsi yang mendarah daging bukanlah sifat hakiki yang ada dalam manusia. Mentalitas korupsi pada dasarnya tercipta oleh mentalitas modern seperti budaya konsumtif, easy going, tidak mau bekerja keras dan lain-lain. Sebagai sebuah mentalitas yang ditambahkan korupsi bisa dihilangkan dengan mengembangkan sebuah budaya tandingan seperti nilai-nilai agama. Setiap agama pasti mengembangkan nilai-nilai kerja keras, tanggung jawab, rasa bersalah dan lain-lain. Setiap orang harus mengusahakan nilai kerja keras untuk memeroleh kebahagiaan. Setiap orang akan merasa bahagia jika ia bisa menikmati hasil jerih payah yang merupakan buah dari kerja kerasnya sendiri.
Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan diartikan sebagai sebuah tingkah laku  yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa Indonesia.  Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak  bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu.  

ditulis oleh Neng Farida Rahmah

Komentar

Postingan Populer