Mbah Kardoen
Cerpen N Mursidi (Republika,
22 Juli 2012)
MUSHOLLA itu terselip di sebuah gang kecil. Tak ada peziarah yang
sempat singgah. Tak ada pengelana yang menumpang shalat, kecuali hanya beberapa
orang yang tinggal di sekitar musholla. Bertahun-tahun sejak musholla itu
berdiri, nyaris sepi dan hening. Tak ada shalat berjamaah di siang hari.
Bangunan untuk tempat sembayang itu baru mulai hidup dan bernapas tatkala
petang menjelang, tepat azan Maghrib berkumandang. Tujuh sampai sepuluh orang
kampung mulai berdatangan untuk shalat Maghrib berjamaah. Tapi, saat Isya tiba,
jumlah itu mulai berkurang. Tidak lebih lima orang. Waktu Subuh, tinggal tiga
atau empat orang. Demikianlah musholla itu menghembuskan irama. Setiap hari
seperti itu, tak pernah ramai.
Dulu selepas shalat Maghrib, ketika
ustadz Mahmudi belum menikah dan masih tinggal bersama ibunya di dekat musholla
itu, anak-anak masih mau bertandang ke musholla untuk belajar mengaji. Tetapi,
itu pun tak banyak. Sebab, ustadz Mahmudi dikenal galak. Anak-anak yang salah
membaca Alquran atau mengeja huruf hijaiyah kerap dipukul dengan sebilah kayu.
Akhirnya anak-anak jadi takut mengaji. Hanya tiga atau empat anak yang mampu
bertahan. Namun,
setelah ustadz Mahmudi menikah dengan gadis dari desa lain,
dan hidup di desa sebelah, musholla itu tak lagi jadi tempat mengaji bagi
anak-anak.
Selepas kepergian ustadz Mahmudi,
musholla itu seperti tanpa imam. Kadang Dulloh yang hanya lulusan SMA jadi imam
shalat Maghrib, lantaran orang-orang tua tak fasih melafal bacaan shalat. Lalu,
pada shalat Isya, kadang Mukri menggantikan Dulloh jadi imam—begitu juga ketika
Dulloh berhalangan, atau sedang pergi. Selama setahun, musholla itu seperti bus
yang bisa ganti sopir kapan pun. Hingga kemudian, Rohman, salah satu pemuda
kampung yang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur pulang kampung untuk
selamanya. Dia—akhirnya –didaulat jadi imam, dan ketua musholla.
Tetapi, kedatangan Rohman itu tidak
mengubah keadaan. Musholla itu tetap sepi dan hening terutama pada siang hari.
Tidak ada jamaah shalat. Kadang, Rohman datang ke musholla mengumandangkan
adzan ketika Dhuhur tiba, tetapi kerap tidak ada yang datang. Akhirnya, dia
shalat sendirian. Bagi Rohman, sepi yang melingkupi musholla itu cukup
merisaukannya. Rohman kemudian mengajak anak-anak untuk kembali mengaji di
musholla. Sayangnya, anak-anak sudah keranjingan main game atau nonton
televisi. Akhirnya, dia hanya mampu mengajak dua anak yang mau belajar mengaji.
Tapi, itu tak berlangsung lama. Godaan game dan televisi rupanya membuat
dua anak itu memilih hengkang.
Musholla yang terselip di gang
sempit itu pun kembali sepi. Bahkan, ketika bulan mulai bertambah, sepi kian
merayap.
***
Suatu hari, tepat tengah malam yang
gulita, tatkala orang-orang sudah terlelap, tiba-tiba terdengar suara mengalun
orang sedang ngaji Alquran. Suara orang itu kencang sekali, serak, bahkan lebih
menyerupai jeritan. Suara parau orang itu serasa membelah lembaran malam. Suara
orang mengaji di musholla itu membuat penduduk merasa terganggu. Sebab orang
itu mengaji dengan suara menyanyat dan merobek hati.
Penduduk kampung pun terbangun, dan
keluar dari rumah.
“Siapakah yang mengaji tak tahu
waktu?”
“Apa orang itu sudah gila?”
Mungkin, orang-orang kampung tidak
merasa terganggu jika suara orang asing yang mengaji Alquran itu mengalun
sahdu. Tapi suara yang dilantunkan itu parau, serak, bahkan mengoyak hati.
Orang-orang itu berdatangan ke musholla ingin tahu siapa orang yang mengaji di
tengah malam itu.
Betapa penduduk kampung itu hanya
bisa mengelus ketika menjumpai orang yang mengaji itu ternyata Mbah Kardoen,
lelaki sepuh yang sudah berumur enam puluhan.
Mereka hanya saling pandang. Tak ada
yang mengusik, apalagi menegur. Orang-orang hanya geleng-geleng kepala.
Pasalnya, Mbah Kardoen—selama ini—dikenal kurang waras. Dia itu seorang kakek
tua yang sudah hampir uzur, tinggal di dekat kuburan kampung. Sehari-hari, Mbah
Kardoen hanya mengandalkan hidup dari mengembala kambing dan menghabiskan waktu
di sekitar kuburan. Warga tak pernah melihat Mbah Kardoen ke musholla. Tapi
Mbah Kardoen itu tidak pernah merisaukan mereka. Apalagi, kakek tua itu
tergolong pendiam. Tak banyak kata. Tak banyak bicara. Hanya saja, ia kadang
suka meracau sendiri ketika berjalan melewati kampung.
Warga kampung kembali pulang,
menarik selimut tetapi memendam kegelisahan—karena Mbah Kardoen dianggap kurang
waras.
Tetapi, malam berikutnya, di luar
dugaan, Mbah Kardoen kembali ke musholla, mengaji dengan serak dan parau hingga
warga tak dapat tidur nyenyak. Demikian dengan malam berikutnya, berikutnya,
dan berikutnya. Hingga akhirnya, selepas shalat Maghrib, digelar rapat dadakan
di musholla.
“Saya pikir, sebaiknya kakek tua itu
diberi pelajaran. Kita bisa menghajarnya ramai-ramai nanti malam,” ucap Mukri
yang memiliki jiwa muda dan gampang marah.
Semua saling pandang. Usulan Mukri
itu seakan memberikan pengakuan.
“Kita tidak bisa menghajarnya.
Apalagi, dia itu seorang kakek yang sudah tua. Kita yang muda ini seharusnya
menghormatinya. Terlebih, jika kita ini arif, seharusnya kita ini senang karena
melihat Mbah Kardoen itu mendapatkan hidayah. Jarang ada orang setua Mbak
Kardoen itu mau mengaji. Dia itu bisa sedang bertobat. Apalagi, dia itu….”
ungkap Rohman, ketua musholla.
Orang-orang yang berkumpul di
musholla tahu jika Mbah Kardoen memang selama ini dianggap tidak waras.
Dan, penjelasan Rohman itu dianggap masuk akal. Akhirnya, kakek tua itu pun
dibiarkan. Apalagi, usai mengaji, Mbah Kardoen selalu mengisi kolah, menyapu
musholla dan merapikan karpet. Warga kampung merasa kerja tanpa pamrih Mbah
Kardoen itu telah menutupi kekesalan mereka. Meski sepanjang malam, kakek itu
terus mengaji dengan parau dan serak. Tetapi penduduk kampung lama-lama
terbiasa, tak lagi merasa terganggu.
Apalagi, ketika hari bertambah hari,
Mbah Kardoen bisa mengaji dengan lancar dan tak lagi grotal-gratul.
Hingga, akhirnya kebiasaan kakek tua itu pun dianggap sebagai hal yang biasa.
Tidak ada yang aneh lagi.
***
Setelah berlangsung hampir tiga
bulan, tiba-tiba ada yang aneh dengan anggapan orang-orang tentang Mbah
Kardoen.
Dia tidak pernah membakar dupa. Dia
tak pernah merapal mantra, justru setiap tengah malam tiba dia selalu mengaji,
tapi dalam obrolan dan rerasan warga kampung, dia dianggap dukun. Bagi
orang-orang yang rajin ke musholla, Mbah Kardoen dianggap telah mendapat
hidayah. Dia menempuh jalan yang benar; bertobat. Rupanya, bagi sebagian yang
lain, kakek itu dianggap memiliki kekuatan gaib; bisa mengetahui hal-hal yang
tidak bisa ditangkap dengan mata biasa dan akal sehat. Mbah Kardoen dianggap
orang sakti….
Seluruh kampung geger. Semua itu
bermula dari cerita Agung, pemuda yang sehari-hari kerja sebagai tukang ojek
yang dikabarkan dapat keberuntungan dari togel. Ia dikabarkan dapat uang dua
ratus juta karena nomor yang ia pasang. Di warung kopi, dengan wajah
berbinar-binar dia bercerita jika nomor yang dia pasang itu, ia dapatkan dari
Mbah Kardoen.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan
nomor togel itu? Bukankah Mbah Kardoen nyaris tak pernah berbicara?”
“Kamu harus sabar! Tungguin terus
kakek itu sampai dia mengeluarkan kata-kata. Dan apa yang keluar dari mulutnya
itu adalah angka keberuntungan.”
Dalam waktu sekejab, berita itu
cepat menyebar. Orang-orang kampung berdatangan ke musholla, mencari Mbah
Kardoen. Bahkan, ada juga orang dari kampung sebelah yang ikut mencari Mbah
Kardoen. Mereka datang mengerumuni Mbah Kardoen yang ada di musholla. Tapi,
Mbah Kardoen tetap membisu. Walau begitu, tetap saja setiap hari banyak orang
berkumpul di musholla. Mereka datang tak untuk shalat, tetapi mencari Mbah Kardoen
untuk meminta keberuntungan.
Sebab dia dianggap bisa meramal.
Bukan hanya itu, ia pun dianggap bisa menyembuh segala penyakit. Orang-orang
berdatangan dengan beraneka pertanyaan. Ada yang datang minta anaknya agar bisa
mendapat nilai bagus, ada yang datang menanyakan jodoh, ada yang datang minta
nomor togel, hingga ada yang datang minta disembuhkan. Tapi, Mbah Kardoen tetap
tak menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang aneh itu.
Tentu, orang-orang merasa kesal
dengan Mbah Kardoen karena tetap membisu. Tetapi, orang-orang itu tak
kehilangan akal. Ketika Mbah Kardoen meludah, maka buru-buru orang-orang itu
mengambil air ludah yang sudah jatuh di tanah itu. Orang-orang yang suka togel,
lalu memilih menelisik bekas ludah Mbah Kardoen untuk diotak-atik jadi angka
togel. Entah cobaan atau ujian, setelah air ludah Mbah Kardoen dibawa pulang,
ternyata dikabarkan bisa menyembuhkan penyakit. Dan angka dari hasil otak-atik
air ludah pun bisa menembus keberuntungan; karena tak sedikit yang dapat uang
dari beli togel dengan mereka-reka ludah Mbah Kardoen.
Musholla di gang sempit itu, kini
menjadi ramai. Tetapi, bagi Rohman, hal itu cukup merisaukan. Karena,
orang-orang sudah cenderung syirik dan telah banyak yang terjangkit judi togel.
Sejak itu, dia memutuskan untuk mengunci musholla, dan hanya dibuka kecuali
kalau digunakan shalat berjamaah. Dan setelah musholla itu dikunci, Mbah
Kardoen tidak lagi menginjakkan kaki di musholla. Bahkan ia hilang seperti
ditelan bumi.
Tapi, ada setumpuk cerita tentang
Mbah Kardoen yang simpang siur. Ada yang bercerita Mbah Kardoen mengembara dari
satu kampung ke kampung lain untuk mencari musholla sebagai tempat bermukim.
Sayangnya, tidak ada satu pun orang kampung yang pernah bertemu dengan Mbah
Kardoen. Ada juga yang cerita kalau kakek tua itu sudah meninggal. Tapi ia
meninggal di kota yang jauh dari kampung itu. Kendati demikian, tak ada satu
orang yang berhasil menemukan makam Mbah Kardoen. Ada juga yang cerita kalau
Mbah Kardoen jadi dukun di seberang pulau. Tapi, lagi-lagi, tak ada satu orang
pun yang berani menjamin kebenaran cerita ini.
Musholla di gang kecil itu, kembali
sepi seperti sedia kala. (*)
.
.
Jakarta,
2012
N
Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat
di sejumlah media massa, seperti di The Jakarta Post, Suara Pembaruan,
Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar
Indonesia, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Anggun, Minggu
Pagi, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jabar, Surya, Surabaya
Post, Batam Pos, Lampung Post, dan Solo Post. Selain
menulis cerpen, ia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan
cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).
.
.
Komentar
Posting Komentar