PATUNG
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Duaratus
tahun kemudian, seorang nenek berkata kepada cucunya, sambil menunjuk diriku.
“Lihatlah
orang bodoh itu,” katanya, “ia berdiri terus disitu, menunggu kekasihnya sampai
menjadi patung.”
Kulihat
gadis disampingnya, menggandeng neneknya dengan hati-hati. Agaknya nenek itu
sengaja membawa gadis manis cucunya itu kesini untuk memberinya pelajaran.
“Jangan
pernah engkau sudi menunggu kekasih yang meninggalkanmu tanpa kepastian untuk
kembali. Nanti engkau juga akan menjadi patung seperti dia.”
Gadis itu
memandangku dengan takjub. Berbeda dengan pandangan neneknya yang penuh
pelecehan.
“Tapi nek,
bukankah itu berarti dia sangat setia?”
“Itu bukan
setia namanya. Itu bodoh.”
“Katanya
kalau kita mencinai seseorang, kita harus setia kepadanya.”
Nenek itu
mengalihkan pandang dariku, menatap gadis itu dengan tajam.
“Cinta itu
ada dua.
Yang pertama cinta buta. Yang kedua cinta pakai Otak. Yang pertama
biasanya membuat kita menderita. Yang kedua biasanya membuat kita selamat.”
Lantas nenek
itu menuding kepadaku.
“Cinta orang
bodoh itu termasuk cinta buta. Sudi amat dia menunggu kekasihnya ditempat ini
sampai menjadi patung.”
Gadis itu
masih menatapku dengan takjub.
“Tapi
barangkali dia bahagia nek.”
Neneknya
menjawab sambil melongos, dan melangkah pergi.
“Aku tidak
tahu, apakah orang yang menunggu selama dua ratus tahun masih bisa bahagia.
Apalagi sampai jadi patung.”
Aku melihat
mereka pergi menjauh. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Tapi aku
memang sudah menjadi patung. Seluruh tubuhku mulai dari ujung jari kaki sampai
ujung rambutku telah menjadi batu. segenap urat syaraf, darah, kulit, usus,
jantung dan paru-paru, apapun dari tubuhku telah menjadi batu, sehingga akupun
menjadi patung. Aku tinggal pikiranku. Menatap ke satu arah tanpa bisa menoleh.
Di arah
itulah, di mana selama duaratus tahun aku menatap matahari turun
perlahan-perlahan ke balik gunung, aku menunggu dia muncul seperti yang dia
janjikan duaratus tahun yang lalu.
“Kamu mau
kemana, sayang?”
“Tunggulah
disini, aku pergi cuma sebentar.”
“Ke mana?”
“sebentar.”
“Mau
ngapain?”
“Aku pergi
cuma sebentar, tunggulah disini, aku segera kembali setelah iblis itu mati.”
“Jadi dikau
akan pergi memburu iblis, sayang?”
“Ya, aku
harus membunuhnya, setelah itu aku baru bisa pacaran dengan tenang. apakah kamu
akan menunggu aku sayang?”
Aku tidak
menjawab, namun dia tahu aku akan menunggunya sampai mati. Aku terus menerus
berdiri di tempat ini menunggu senja tiba seperti dijanjikannya.
“Aku tidak
akan terlalu lama, aku akan muncul di ujung jalan itu ketika senja. Aku akan
muncul ketika matahari yang jingga dan membara turun di antara dua gunung itu.
Dikau akan melihatku sebagai siluet. Muncul sebagai bayang-bayang hitam
berambut panjang yang berlari menujumu. Tunggulah aku disini, di luar desa ini,
aku akan muncul di ujung jalan itu menenteng kepala iblis sebagai hadiah untuk
perkawinan kita.”
Dia memang
tahu segalanya. Hampir tiada hal yang tiada diketahuinya seperti dia tahu bahwa
iblis sebetulnya tidak pernah mati. Pada saat itu pun aku tahu betapa aku akan
terus menerus menunggui kedatanganya sampai mati. Namun barangkali inilah yang
tidak pernah diketahuinya: ternyata aku tidak mati-mati. Aku terus menerus
menunggu dari senja ke senja sampai dua ratus tahun sampai lama-lama menjadi
patung. aku terus menerus menanti dan mengharapkannya, siapa tahu dia muncul
dari ujung jalan setapak itu sebagai siluet wanita berambut panjang yang
menenteng kepala iblis.
Orang-orang
desa yang lewat menuju ke sawah dengan santun selalu bertanya.
“Janjian
nih?”
“Iya mang.”
“Ke mana sih
dia?”
“Pergi
sebentar mau membunuh iblis.”
“Aduh jang,
Iblis mah kagak bisa dibunuh.”
“Biarinlah
mang, sudah maunya begitu.”
“Jadi mau
menunggu terus nih?”
“Iya mang,
namanya juga pacar.”
“Bagus Jang,
tunggu saja, namanya juga pacar, katanya kapan kembali?”
“Katanya sih
setelah senja tiba.”
“Senja
kapan?”
“Senja
setelah iblis itu dibunuh.”
Orang-orang
desa dengan santun menyimpan ketawanya sampai di kejauhan, meskipun aku selalu
bisa mendengarnya. Lama-lama aku terbiasa. Dan lama-lama orang-orang desa pun
tidak bertanya-tanya lagi. Semua orang tahu kenapa aku berdiri di pertigaan
itu, menatap terus menerus ke arah cakarawala dimana matahari senja selalu
tenggelam di utara dua gunung itu, seperti lukisan anak-anak sekolah dasar.
“Kenapa
orang itu?”
“Oh, dia
orang yang sedang menunggu kekasihnya.”
“Memangnya
kemana kekasihnya itu?”
“katanya
pergi untuk membunuh iblis.”
“Jadi dia
menunggu kekasihnya?”
“Iya.”
“Dan
kekasihnya itu baru akan pulang setelah membunuh iblis?”
“Iya.”
“Kasihan,”
“Kok
kasihan?”
“Barangkali
kekasihnya sudah kawin sama orang lain.”
***
Aku terus
menerus berada di sana, di pertigaan di luar desa menghadap sawah membentang
seperti permadani. Kemudian tumbuh pohon beringin di pertigaan itu. Akarnya
membelit-belit badanku. Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung.
Tiada yang bisa kulakukan selain menunggu. Hidup tidak memberiku banyak pilihan
selain mencintai dia. Aku akan terus menerus menunggu dari senja ke senja. Lagi
pula aku sungguh menyukai langit senja, membayangkan dia akan muncul dari balik
cakarawala di latar belakangi langit ungu dengan mega-mega yang terpencar dalam
semburat cahaya jingga yang membakar.
Sudah dua
ratus tahun aku menatap ke barat, sudah dua ratus tahun aku menatap senja demi
senja yang gemilang dengan permainan warna dan cahaya. Menatap senja bagaikan
menatap dirinya. Kubayangkan di balik cakrawala itu ia bertempur melawan iblis
yang tidak akan pernah mati. Dengan pedang samurainya yang berkilat ia bagaikan
menari-nari di tengah api jelmaan iblis yang berusaha membakar dan
menghanguskannya. Segala hal bisa kubayangkan tentang apa saja yang mungkin
terjadi dibalik cakrawala itu. Kenapa tidak? Semenjak menjadi patung, aku
tinggal pikiran. Seluruh tubuhku membatu sehingga aku tidak bisa bergerak
kemana-mana. Akar-akar pohon melilit tubuhku tanpa aku bisa berkutik. Pohon
beringin tumbuh menjadi besar sehingga membuat tempatku berdiri mematung itu
rindang. Banyak orang suka berteduh disini, menghindar dari terik panas
matahari. Mereka menambatkan kuda atau kerbaunya ke tubuhku, lantas tidur di
bawah pohon beringin. Mereka akan bangun setelah senja tiba.
“Hei lihat,
patung itu menatap senja.”
“Ya, Kata
orang-orang tua desa ini, patung itu dulunya orang betulan.”
“Orang
betulan?”
“Ya, Orang
betulan yang berdiri disitu, menunggu kekasihnya yang pergi untuk membunuh iblis.”
“Membunuh
Iblis?”
“Iya.”
“Sedangkan
sampai sekarang pun iblis tidak mati-mati.”
“Lha iya,
konyol betul orang itu. Barangkali kekasihnya itupun sudah mati sekarang. Lha
wong iblis masih berkeliaran.”
“Ya,
begitulah, tapi orang ini pokoknya menunggu.”
“Orang itu
patung ini?”
“Iya, patung
ini”
“Jangan-jangan
dia mendengar kita.”
Aku memang
mendengarnya. Aku mendengar segalanya tumbuh. aku mendengar burung berkicau
diatas kepalaku. Aku mendengar desis ular merayap diantara akar-akar yang
mebelit kakiku. Aku mendengar desaku tumbuh menjadi kota, sawah-sawah berubah
menjadi pasar. Dan di belakang pasar itu tumbuh gedung-gedung yang megah.
Matahari senja yang turun selalu terjepit diantara gedung-gedung bertingkat
itu. Jalanan setapak di depanku kini beraspal, dan diujungnya bersambung dengan
jalan tol. Hanya tinggal aku dan pohon beringin yang masih tertinggal dari masa
lalu. Muncul jalan kereta api entah darimana, dan dibelakang punggungku
nampaknya dibangun stasiun. Aku hanya mengira-ngira karena aku tidak bisa
menoleh. Tapi kulihat orang-orang menggendong ransel, menyeret kopor dan
berjalan tergesa-gesa karena takut terlambat. Dunia telah menjadi tempat yang
sangat riuh. Aku terus menerus menatap kedepan menunggu seorang wanita yang
indah muncul pada suatu senja sambil menenteng kepala iblis. Kemudian para
petugas dari kotapraja membuat pagar disekeliling pohon beringin itu. Mereka
menancapkan sebuah papan didekat pagar bertuliskan keterangan tentang diriku.
Di dalam stasiun, kios-kios koran dan majalah juga menjual buku kecil yang
menceritakan riwayat hidupku. Sambil menunggu kereta api orang-orang suka
melewatkan waktu memandangku. Mereka mengeja keterangan dipapan itu, atau
membaca buku kecil yang dijual murah itu sambil menatap diriku. Ada yang
menggeleng-gelengkan kepala, ada yang mengangkat bahu, ada yang bibirnya
mencibir. Banyak juga yang senang berfoto-foto dengan latar belakang aku.
Pasangan-pasangan berpelukan didepanku, minta tolong kepada orang-orang yang
lewat supaya dipotret. Rombongan turis juga suka bergerombol, berfoto bersama
didepanku sambil tertawa-tawa. Pemandu mereka biasa berteriak-teriak lewat
corong pengeras suara.
“Inilah
patung Lelaki Yang Menunggu Kekasihnya. Patung ini tidak dipahat oleh
siapapun karena dia berasal dari manusia yang hidup. Duaratus tahun yang lalu
ia berpisah ditempat ini dari kekasihnya, yang pergi untuk …”
***
Suatu ketika
kulihat gadis manis yang datang bersama neneknya itu, tapi kali ini ia datang
bersama seorang lelaki yang nampaknya juga akan berpergian naik kereta api.
“Lihatlah
patung ini, ” ujar lelaki itu, “Dia orang yang menunggu kekasihnya sampai jadi
patung.”
“Aku tahu,”
kata gadis itu, “nenekku yang cerita.”
“Kamu bisa
seperti dia?”
“Maksudmu?”
“Bisa
menunggu aku sampai aku kembali?”
“Aku selalu setia
padamu, kapan kamu kembali?”
“Kalau
tugasku sudah selesai.”
“Apa
tugasmu?”
“Membunuh
Iblis.”
“Tapi iblis
tidak pernah mati!”
“Aku tidak
peduli. Harus selalu ada orang yang membunuh iblis, meskipun iblis tidak akan
pernah mati.”
Terdengar
peluit kereta api. Mereka berpelukan dan berciuman. Lantas lelaki itu memasuki
stasiun. Kulihat gadis itu melambai-lambaikan tangan.
Esoknya dia
datang lagi. Duduk dibangku yang ada dihadapanku sambil meberi makan
burung-burung dara. Sebentar-sebentar dia melihat jam tangannya.
Aku tahu,
dia akan terus menunggu di bangku itu, sampai jadi patung.
Jakarta, 23 januari 1999
Komentar
Posting Komentar