TRANSFORMASI BUDAYA PADA KESENIAN SISINGAAN SUBANG
Budaya,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pikiran; akal budi, adat istiadat,
atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Dari pengertian
tersebut kita dapat memahami pengertian dari budaya secara sederhana. Lebih
lanjutnya, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Sutrisno, 2005:9) telah berupaya untuk
memetakan pengertian budaya secara lebih terperinci. Menurut mereka, ada enam
pemahaman pokok mengenai budaya, yaitu:
1.
Definisi deskriftif: cenderung melihat budaya sebagai
totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus
menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya.
2.
Definisi historis: cenderung melihat budaya sebagai
warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya.
3.
Definisi normatif: bisa mengambil dua bentuk. Yang
pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola
perilaku dan tindakan yang konkret. Yang kedua, menekankan peran gugus nilai
tanpa mengacu pada perilaku.
4.
Definisi psikologis: cenderung memberi tekanan pada peran
budaya sebagai piranti pemecah masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi,
belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya.
5.
Definisi struktural: mau menunjuk pada hubungan atau
keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti
fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dai perilaku konkret.
6.
Definisi genetis: definisi budaya yang melihat asal usul
bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung
melihat budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan
karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hal penting
dari definisi di atas yang mendasari terjadinya kesinambungan turun temurun
suatu budaya adalah yang disinggung oleh definisi historis dan genetis. Suatu
budaya akan ditinggalkan dan akhirnya hilang bila tidak ada kesinambungan dalam
pewarisan.
Pewarisan suatu
budaya biasanya tidak lepas dari penyesuaian. Penyesuaian budaya sering kita
dengar dengan sebutan transormasi budaya. Adapun bentuk transformasi budaya
secara garis besar ada tiga hal. Yaitu berbentuk ekstensi, konvensi, dan
modifikasi. Ekstensi adalah situasi dimana suatu bentuk kebudayaan dibuat lebih
luas dalam peruntukan, fungsi dan hal lainnya. Namun perluasan ini tidak
mengubah bentuk asli dari kebudayaan tersebut. Adapun konvensi berarti mengubah
suatu bentuk kebudayaan, tanpa menghilangkan fungsi dari kebudayaan yang
ditransformasikan tersebut. Sedangkan modifikasi berarti mengubah suatu bentuk
kebudayaan dengan cara mengurangi unsur yang dianggap sudah tidak relevan
dengan jaman dan atau menambahkan unsur budaya luar pada budaya yang
ditransformasi.
Sisingaan
adalah salah satu budaya sunda yang masih dikenal dan sering dijumpai
keberadaannya hingga saat ini. Kebudayaan ini berasal dari Subang Jawa Barat
namun keberadaannya sering kali dapat ditemukan hampir di semua daerah di Jawa
Barat bahkan hingga Banten.
Setelah
mengamati sumber-sumber yang dirasa dapat dipercaya, terutama sumber yang
dirujuk oleh kacabumi.blogspot.com
dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, maka
penulis bisa menyimpulkan beberapa hal berkenaan dengan transformasi keseniaan
sisingaan Subang sebagai berikut:
a.
Ekstensi
Beberapa hal yang membuktikan terjadinya ekstensi budaya
pada kesenian sisingaan di antaranya:
·
Pada
awal terbentuknya kesenian sisingaan, peruntukkannya terbatas untuk sarana hiburan pada saat anak
dikhitan saja, yaitu dengan cara melakukan
jalan-jalan
keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan memunyai fungsi yang lebih luas, antara lain untuk prosesi
penyambutan tamu terhormat dengan cara
naik di atas sisingaan. Fungsi lain yaitu
untuk menyambut atlet
yang berhasil memenangkan suatu pertandingan. Sisingaan bisa ditampilkan
secara eksklusif berdasarkan permintaan.
·
Setelah sisingaan menjadi populer, bermunculanlah kelompok-kelompok kesenian
sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru yang variatif.
b.
Konvensi
Yang membuktikan terjadinya modifikasi budaya pada
kesenian sisingaan yaitu:
·
Busana
yang dipakai
oleh pengusung sisingaan pada awalnya
hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan
kalau yang hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana
yang dipakai
antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Lalu pada sekitar tahun 1960-an, busana pengusung
sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan warna
dan bahan pakaian yang cukup baik. Pada masa lalu busana pemain
sangat sederhana, dan tidak seragam. sementara saat ini pakaian sudah
diperhitungkan nilai estetisnya, seperti pada baju kampret, celana pangsi,
iket, ikat pinggang, sepatu, kaos kaki.
c.
Modifikasi
Beberapa hal yang membuktikan terjadinya modifikasi
budaya pada kesenian sisingaan di antaranya:
·
Pada
zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian
muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu
atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus.
Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu)
yang besar dan ditutupi dengan karung kadut (karung goni) atau terbuat dari
kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Sedangkan pada saat ini sisinggaan banyak berkembang ke arah
yang lebih baik, baik dari ukuran maupun bentuknya. Misalnya dalam hal bentuk
muka sisingaan, sudah semakin mirip dengan bentuk singa asli, karena bagian
muka tersebut dibalut atau ditempel dengan bahan berbulu. Mimik muka juga
dibikin semirip mungkin, dengan mulut terbuka seperti singa hendak menerkam
mangsa, dengan memperlihatkan taringnya yang tajam. Pewarnaan menggunakan cat
juga semakin cemerlang dan menarik..
·
Waditra
pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti
beberapa angklung pentatonis berlaras salendro), namun kemudian berkembang
seperti saat ini.
·
Pada
bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan
silat.
Dengan
adanya pembaruan-pembaruan yang diciptakan dalam kesenian sisingaan Subang ini,
mungkin beberapa orang beranggapan sisingaan Subang telah kehilangan
orisinalitasnya. Bagi penulis, perubahan-perubahan yang terjadi masih dalam
koridor yang lurus karena esensi filosofis yang terkandung dalam sisinggan
Subang masih terjaga. Yaitu proses kreativitas masyarakat Indonesia khususnya Subang
dalam menunjukkan ketidaksukaan mereka pada penjajah kala itu dengan hal yang
menghibur, tanpa disadari oleh penjajah itu sendiri. Landasan filosofis ini lah
yang tidak hilang.
Memang
transformasi budaya membuat suatu produk budaya menjadi terkesan tidak original. Namun yang perlu kita sadari
adalah dengan berkembangnya jaman, transformasi merupakan hal yang paling bijak
untuk mewariskan budaya yang ada agar tidak punah diseret oleh budaya yang
datang dari luar nusantara. Dan sisingaan terbukti masih kita rasa
eksistensinya hingga saat ini.
Rujukan:
Tim Sunrise Pictures. 2010. 100 Keajaiban Indonesia. Jakarta: Cikal Aksara.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Uing, Nyi. 2012. “Sejarah Kesenian
Sisingaan Asal Subang”. http://kacabumi.blogspot.com.
[7 November 2012].
Komentar
Posting Komentar