KAJIAN SEMIOTIK PUISI “POTRETKU” KARYA WIDJATI



*diajukan untuk memenuhi tugas Matakuliah Kajian Puisi Indonesia yang diberikan Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd. oleh Adam Rahmat Fauzan (0900816)
[JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA]



 Pengertian Kajian Semiotik
Dari segi istilah, semiotik berasal dari kata Yunani kuno “semeion” yang berarti tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komuniasi dan ekspresi. Sehubungan dengan sastra, semiotik secara khusus mengkaji karya sastra (termasuk puisi) yang dipandang memiliki sistem tersendiri yang harus dikaitkan dengan masalah seperti ekspresi, bahasa, situasi, symbol, dan gaya.
Semiotik menjadi satu istilah untuk kajian sastra yang bertolak dari pandangan bahwa semua yang terdapat dalam karya sastra (termasuk puisi) merupakan lambang-lambang atau kode-kode yang mempunyai arti atau makna tertentu. Arti atau makna itu berkaitan dengan sistem yang dianut. Pengetahuan tentang kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam kajian semiotik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian semiotik merupakan
kajian terhadap tanda-tanda secara sistematis yang terdapat dalam karya sastra termasuk puisi­). Ada dua hal yang berhubungan dengan tanda, yakni yang menandai/penanda yang ditandai/penanda. Hubungan antara tanda dengan acuannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
  1. Ikon
Ada kemiripannya antara acuannya dengan tanda. Tanda tersebut memang mirip dengan acuannya atau merupakan gambar/arti langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung dari yang difoto. Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, di dalam tanda tampak juga hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antara dua acuan dengan tanda yang sama, kata kancil misalnya, mempunyai acuan ‘binatang kancil’ dan sekaligus ‘kecerdikan’.
2.      Indeks
Istilah indeks berarti bahwa antara tanda dan acuanya ada kedekatan ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan; asap menandakan adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.

  1. Simbol
Penanda tidak merupakn sebab atu akibat dan tidak merupakan gambaran langsung dari petanda, tetapi hubungan antara tanda dan acuannya yang telah terbentuk secara konvensional. Jadi sudah ada persetujuan antara pemakai tanda dengan acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap, terbentuk secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya. Ada tiga macam simbol yang dikenal, yakni (1) simbol pribadi, misalnya seseorang menangis bila mendengar sebuah lagu gembira karena lagu itu telah menjadi lambing pribadi ketika orang yang dicintainya meninggal dunia, (2) simbol pemufakatan, misalnya burung Garuda/Pancasila, bintang = ketuhanan, padi dan kapas = keadilan social, dan (3) symbol universal, misalnya bunga adalah lambing cinta, laut adalah lambing kehidupan yang dinamis (djojosuroto, 2005; 68-72).
Ruang Lingkup Kajian Semiotik
Untuk melakukan kajian semiotik terhadap puisi, dapat dilakukan dengan pemaknaan sebagai berikut:
  1. Puisi dikaji ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhan.
  2. Tiap unsur puisi dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi.
  3. Setelah puisi dikaji ke dalam unsur-unsurnya dan dilakukan pemaknaan, puisi dikembalikan kepada makna totalitasnya dengan kerangka semiotik.
  4. Untuk pemaknaan diperlukan pembacaan secara semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.
(Riffaterre, 1978: 506; Pradopo, 2003:95).
Pembacaan heuristik adalah pembacaan karya sastra (puisi) berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaannya hermeneutik adalah pembacaan karya sastra (puisi) berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan tafsiran berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 2003:96).



Pembacaan Heuristik terhadap Puisi ”Potretku” Widjati
Potretku
(kepada pelukis S. Dito)
Seperti itukah aku yang kaulukis
Dalam gelap warna yang samar
Wajahku terpampang.
Bergaris pada cahaya keremangan
Engkaupun mempermainkan warna
Sehingga aku jadi terasing.

Gelisahku tak pernah kautahu
Pada pertarungan seru seresah itu
Yang bergelut pada hidup, pada mimpi
Dan dalam tumpukan kabut, puisi-puisi.

Seperti itukah aku yang kaulukis
Dalam gelap warna yang samar
Wajahku terdampar.
Gelisahku tak pernah kautahu, absurd
Di sini jua segera kaupenggal kepalaku.

Kemantran – Tegal, 18 Maret 1995
Dalam pembacaan heuristik puisi dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti pada puisi, bila perlu dapat diberi sisipan kata atau sinonim kata yang ada pada puisi tersebut dengan cara kata-kata yang disisipkan ditaruh dalam tanda kurung. Begitu pula dengan struktur kalimatnya, disesuaikan dengan kalimat baku, dan bila perlu susunannya dapat dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik terhadap puisi ”Potretku” karya Widjati dapat dilakukan secara berikut:

Bait Pertama
Seperti itukah (gambar) aku yang (telah) kaulukis
Dalam gelap warna yang samar (warna yang tidak terlihat jelas)
Wajahku terpampang (di atas kanvas).
Bergaris pada cahaya keremangan (lampu)
Engkaupun mempermainkan warna (dalam lukisanmu)
Sehingga aku jadi ter(lihat)asing.
Bait Kedua
(namun) Gelisahku tak (akan) pernah (bisa) kautahu
Pada pertarungan seru seresah (yang ada dalam hatiku) itu
(pertarungan) Yang bergelut pada hidup, pada mimpi
Dan dalam tumpukan kabut (kesamaran), puisi-puisi(ku).
Bait Ketiga
Seperti itukah (gambar) aku yang (telah) kaulukis
Dalam gelap warna yang samar (warna yang tidak terlihat jelas)
Wajahku terdampar (di atas kanvas).
Gelisahku tak (akan) pernah (bisa) kautahu, absurd (karena tidak terlihat jelas)
Di sini jua (ingin) segera kupenggal kepalaku (agar kau tak bisa melukiskan mimik mukaku yang menipu).
Di air yang tenang, di angin (yang) mendayu, di perasaan penghabisan segala (sesuatu)  melaju. Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Pembacaan Hermeneutik terhadap Puisi “Potretku” Widjati
Dalam pembacaan hermeneutik puisi dibaca berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra. Konvensi sastra itu, di antaranya yaitu konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) puisi. Ketaklangsungan ekpresi puisi dapat disebabkan oleh penggantian arti, penyimpanan arti, dan penciptaan arti (Riffaterre, 1978: 1-2; Pradopo, 2003:97).
Penggantian arti dapat disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Penyimpangan arti dapat disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti dapat disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual seperti enjambemen, persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris, dan tipografi) (Pradopo, 2003:97).
Pembacaan hermeneutik terhadap puisi “Potret” karya Widjati, terutama dilakukan terhadap bahasa kiasan.. Pembacaannya (tafsirannya) dapat dilakukan sebagai berikut:
Bait pertama
Seseorang yang tengah melihat hasil lukisan lawan bicaranya mengomentari hasil lukisan lawan bicaranya tersebut. Orang tersebut melihat lukisan dirinya terlukis dengan komposisi warna gelap yang tidak bergitu jelas. Ia melihat dalam lukisan tersebut terdapat garis-garis cahaya remang. Menurut pendapatnya permainan warna pada lukisan yang menggambarkan dirinya itu membuat ia menjadi asing.
Bait kedua
Orang tersebut menyampaikan pesan pada pelukis bahwa pelukis tak akan pernah tau hal-hal yang tidak nampak pada wajahnya. Hal-hal tersebut adalah rasa gelisah dan keresahannya. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang timbul dalam kehidupan yang selalu diarahkan oleh keinginan-keinginan. Dan dalam benak orang tersebut keresahan itu selalu bisa dinampakkannya melalui puisi.
Bait ketiga
Ia pun kembali mengomentari lukisan wajahnya. Iya kembali mengamati komposisi warna gelap yang tidak begitu jelas. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa hasil lukisan sang pelukis sama sekali berbeda dengan kenyataan. Simpulan itu ia sampaikan karena ia yakin bahwa pelukis tidak akan pernah tahu kegelisahannya yang tidak jelas. Dan sebagai bentuk sindirainnya pada pelukis, ia mempersilahkan pelukis untuk melukis wajahnya sesuka hati.



Pemaknaan terhadap Puisi “Potretku” Widjati
Berdasarkan hasil pembacaan heuristik dan hermeneutik, dapat diketahui bagaimana makna puisi “Cintaku jauh di Pulau” karya Chairil Anwar, terutama pada bahasa kiasan. Pemaknaannya dapat dilakukan sebagai berikut:
Bait pertama
“Seperti itukah aku yang kaulukis” adalah ungkapan sinis dari seseorang untuk pelukis yang telah melukis wajahnya yang terlihat tanpa makna. “Dalam gelap warna yang samar” adalah ungkapannya bahwa yang ia lihat dalam lukisannya adalah komposisi warna gelap yang tidak jelas. “Wajahku terpampang.” Wajah yang telah dilukiskan pelukis terpampang begitu saja. “Bergaris pada cahaya keremangan” dalam lukisan itu terdapat garis-garis yang memperlihatkan cahaya keremangan. Cahaya keremangan juga mungkin bisa diartikan sebagai kepopuleran pelukis yang menurut orang tersebut tidak ada apa-apanya. “Engkaupun mempermainkan warna” pelukis memperlihatkan keahliannya dalam mengubah warna dari warna-warna dasar yang pelukis miliki. “Sehingga aku jadi terasing.” Dan hal itu membuat orang tersebut merasa asing melihat lukisan wajahnya. Terasing juga dapat diartikan dikucilkan. Dikucilkan karena keahlian pelukis menggambarkan sesuatu itu lebih menarik daripada keahliannya sebagai penyair.
Bait kedua
“Gelisahku tak pernah kautahu” adalah ungkapan orang pada bait pertama (bisa jadi penyair) kepada pelukis bahwa lukisannya tak akan bisa menunjukkan kegelisahan orang tersebut. “Pada pertarungan seru seresah itu” menjunjukkan bahwa kegelisahan orang tersebut diakibatkan pertarungan yang seru dan meresahkan baginya. Pertarungan yang seru itu mungkin bisa diartikan pergolakan batin yang biasanya saling tarik menarik antara kebaikan dan keburukan. “Yang bergelut pada hidup, pada mimpi” pertarungan itu biasanya dipengaruhi oleh kehidupan dan juga keinginan-keingina yang ingin orang tersebut capai. “Dan dalam tumpukan kabut, puisi-puisi.” Dan kegelisahan itu biasa orang tersebut tumpuk dalam benak hingga menghasilkan puisi-puisi. Puisi juga bisa diartikan sebagai sesuatu hal yang menyimpan makna. Jadi maksudnya mungkin kegelisahan dalam hidup dan impian yang orang tersebut rasa merupakan tumpukan makna.
Bait ketiga
“Seperti itukah aku yang kaulukis” adalah ungkapan sinis orang pada bait sebelumnya untuk pelukis yang telah melukis wajahnya. “Dalam gelap warna yang samar” ungkapan ini kembali hadiru untuk meyakinkan bahwa hasil lukisan peluikis itu berkomposisi warna gelap yang tidak jelas. “Wajahku terdampar.” Akhirnya orang tersebut menyimpulkan wajahnya telah terdampar. Terdampar bisa diartikan terasing atau tidak sampai pada tujuannya. Jadi orang tersebut meyakini bahwa lukisan yang dilukis tidak mampu menggambarkan dirinya. “Gelisahku tak pernah kautahu, absurd” ia mengingatkan pelukis bahwa bagaimana pun hebatnya si pelukis, pelukis tak akan pernah tahu kegelisahan orang tersebut karena kegelisahannya bersifat absurd. Absurd diartikan tidak jelas. Jadi orang tersebut meyakini bahwa kegelisahan yang ia miliki takan pernah bisa tergambarkan dengan jelas. “Di sini jua segera kaupenggal kepalaku.” Unkapan terakhir ini menyatakan orang tersebut sudah tidak peduli dengan lukisan sang pelukis. Pelukis boleh memenggal kepala orang tersebut agar pelukis bisa melukis wajahnya dengan bebas.
Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Tokoh aku dalam puisi itu merasa hasil lukisan tokoh kau tidak menggambarkan dirinya yang sesungguhnya. Tokoh aku mengganggap setiap warna yang dibuat oleh tokoh kau itu sama sekali tidak mempengaruhi lukisan aku. Warna-warna yang ditimbulakan hanya membuat wajah tokoh aku menjadi samar.
Dalam puisi ada pesan yang tersirat bagi pembaca. Puisi ini menyadarkan kita bahwa wajah, tubuh dan apapun dari kita yang bersifat fisik itu sering kali menipu. Orang lain tidak pernah tahu apapun yang ada dalam pikiran orang lain. Kita hanya bisa menebak-nebak sifat apa yang orang lain miliki tanpa mendapatkan kepastian.

Sumber:
Sunarya, Arif. 2011. “Kajian Semiotik terhadap Puisi “Cintaku Jauh di Pulau” Chairil Anwar” http://arifsunarya.wordpress.com. [8 Agustus 2011].


Komentar

Postingan Populer