PENGKAJIAN DRAMA TRADISIONAL (WAYANG GOLEK)




*disusun oleh Abdillah Al Hafidz (1102448); Adam Rahmat Fauzan (0900816); Alifah Nurfajrina (1100348); Evi Novitasari (1106240); Nurul Lutfia (1100809); Riska Yulia Arifin (1104678) untuk memenuhi tugas Matakuliah Kajian Drama Indonesia yang diberikan oleh Suci Sundusiah, M.Pd.
[JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA]



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Drama Tradisional
Drama merupakan salahsatu kesenian yang menjadikan bahasa sebagai medianya. Berdasarkan teknik pementasannya, drama dibedakan atas bentuk drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional adalah seni drama yang berakar dan besumber dari masyarakat, secara spontan dan bersifat improvisatoris. Sedangkan drama modern adalah drama yang bertolak dari hasil sastra yang disusun untuk suatu pementasan. Jadi, perbedaan utama antara drama tradisional dengan drama modern terletak pada ada atau tidak adanya naskah.
Drama tradisional umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istana atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.Adapun ciri-ciri drama tradisional, yaitu:
  • Pementasan dapat dilakukan di panggung terbuka (lapangan, halaman rumah, dsb.)
  • Penonton tidak perlu membayar, karena diselenggarakan dalam tempat terbuka untuk umum.
  • Dalam drama tradisional biasanya berkaitan dengan upacara yang berhubungan dengan suatu kepercayaan.
  • Ceritanya turun temurun atau diambil dari tradisi sendiri(hikayat, dongeng, sejarah, dan sebagainya).
Drama tradisional tidak menggunakan naskah(bersifat improvisasi). Sifatnya supel, artinya di pentaskan di sembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang di daerah-daerah seluruh Indonesia. Crita-cerita yang di bawakan dalam teater tradisional umumnya bersumber dari cerita-cerita yang sudah hidup dan berakar dalam masyarakat, seperti mitos, legenda, dan sebagainya.
Dalam drama tradisional, penonton merupakan bagian dari pertunjukan dan di mungkinkan berinteraksi dengan pemain di panggung. Dalam teater modern batas antara penonton dan pemain cukup tegas.

2.2     Jenis-jenis Drama Tradisional Sunda
Beberapa jenis drama tradisional sunda adalah sebagai berikut:
2.2.1        Ubrug
"Ubrug" di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu lokasi.
Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon, musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang, kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk. 
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Teater Ubrug pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau rubia.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

2.2.2.      Longser
Longser merupakan salah satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional yang disebut lengger.
Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.

2.2.3.      Wayang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang.

2.3.      Wayang Golek
Wayang golek dipertunjukan dengan boneka-boneka dari kayu, tiga dimensi dan diberi busana; repertori di Jawa tengah terdiri dari lakon-lakon yang berdasarkan pada ceritra-ceritra tentang seorang pangeran Arab yaitu Amir Hamzah (seorang paman Nabi Muhammad). Wayang golek sangat popular di jawa (terutama Jawa Barat dan Jogjakarta di Jawa Tengah), namun pertunjukan wayang golek tidak dikenal di Bali.
Busana Wayang Golek di Jawa barat yang penuh warna temasuk tiruan dari busana istana jawa. Beberapa tokoh pria dibusanai dengan baju lengan panjang bersulam emas dari abad ke-18 atau ke-19 dari inspirasi eropa yang dikombinasi dengan topi serta serban, beberapa dalam gaya Arab. Akan tetapi semua boneka menganakan kain batik Jawa panjang untuk menyembunyikan tangan dalang yang memegang boneka pada pegangan kain yang di tengah.
Konstruksi sebuah boneka golek adalah sederhana. Komponen-komponen kayu yang utama adalah: sebuah torso yang dipotong bagian atasnya yang kasar dengan sebuah lubang vertikal yang dibor di tengahnya; lengan-lengan dengan dua bagian yang diikat menjadi satu pada siku dan berjuntai bebas dari bahu; kepala diukir dengan cermat dan dicat, lengkap dengan hiasan kepala, dengan leher yang sedikit agak dipanjangkan; akhirnya sebuah kayu ditengah yang diruncingkan yang berfungsi juga sebagai pegangan, serta dua kayu yang lebih langsing yang dikaitkan pada tangan. Mekanisme berjalan sebagai berikut: kayu ditengah, melewati torso dengan bebas dan menyembul diantara lengan, berfungsi sebagai poros bagi kepala, yang lehernya di pasang kencang pada ujung atas dari kayu; di bawah torso kayu itu membesar untuk menghindari tubuh melorot kebawah, tetapi dengan cukup peluang untuk menciptakan efek boneka untuk terengah–engah seperti setelah perang, atau karena kemarahan, dengan berulang–ulang mendoromg tuduh ke atas dan membiarkannya ke bawah lagi. Dengan memutar kayu di tengah, dalang dapat membuat kepala golek beputar ke semua arah yang sangat menhhidupkan tarinya dan gerak–gerak yang lain brsama–sama dengan gerak–gerak lengan yang dihasilkan oleh kayu yang diikatkan pada tangan–tangan.
Di Jawa Barat, diantara orang sunda wayang golek begitu popular hingga wayang itu lebih diutamakan di atas wayang kulit,dan termasuk repertoar dari wayang kulit; lakon–lakon yang berdasarkan pada Ramayana dam mahabharata (purwa) serta legenda–legenda panji (gedhog) dipertunjukan di sana dan juga ceritera – ceritera Amir Hamzah.

2.3.1 Asal Usul Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

2.3.2        Jenis-Jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang bergerak.
Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan
dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.

2.4.   Dalang dan Teaternya
Dalang adalah kekuatan sentral dari dunia wayang. Penulis ceritera dan produser, juru ceritera utama dan konduktor, ia adalah pencipta serta penggerak utama dari dunia bayangan yang ilusif. Ia membawa penontonnya ke wilayah-wilayah ceitera kuna dengan bunyi suaranya. Ia menghidupkan boneka-boneka di tangannya, membuat mereka mencari, berkelana, susah, gembira, serta berbicara dengan warna nada serta tekanan yang selalu berubah.
Makna dari kata ‘dalang’ diinterpretasikan dalam dua cara. Pertama, dari arti-arti yang diberikan adalah ‘yang berkelana’, yang mengisyaratkan seorang pemain yang berkeliling. Yang lain menghubungkan gelar itu dengan konsep-konsep kreativitas dan kecerdikan, yang mengisyaratkan bahwa ‘dalang’ adalah seorang yang memiliki keterampilan dalam penciptaaan, juga kebijakan, dengan demikian gelar itu memiliki sebuah konotasi yang mengilhami penghormatan.
Dengan jelas dalang adalah seorang manusia superior. Disamping keterampilan-keterampilannya, ia harus memiliki daya tahan yang besar; secara tradisional sebuah pertunjukkan wayang kulit dimulai setelah matahari turun, dan berlangsung tanpa selingan sampai matahari terbit, dengan dalang sebagai pemain tunggal. Sering kali seorang dalang juga memahat wayang-wayangnya sendiri. akan tetapi ya atau tidak, ia memproduksinya sendiri, ia memiliki pengetahuan paling mendalam dari ikonografi wayang-wayang.
Keahlian sastra dari dalang menyatu dengan kepandaian beraneka suara. Gerak-gerik setia boneka dihasilkan oleh jari-jari yang cekatan dari hanya dengan tangan yang memegangnya. Dalang juga mengubah-ubah serta memperkuat efek bayangan-bayangan wayang dengan menempatkan mereka pada posisi tertentu pada layar.

2.5.   Ikonografi dan Jiwa Khas dari Dunia Sunda
Pengertian Ikonografi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang Seni dan teknik membuat area. Dalam pewayangan, ikonografi menjadi hal yang sangat penting karena sebuah wayang sudah barang tentu merupakan ikon untuk tokoh yang ditunjuk.
Wayang merupakan dunia yang stabil yang berdasarkan pada konflik. Di dunia wayang terdapat dunia kanan (tokoh baik) dan dunia kiri (tokoh jahat). Di masing-masing dunia ini wayang diurutkan sesuai dengan fungsi: militer (contohnya pangeran, guru, komandan-komandan militer),dan sifat-sifat temperamental, dan kadang juga usia, keadaan. Pada ikonografi wayang seperti dalam grafologi, satu ciri tidak dapat diinterprestasikan terpisah; setiap cirri pasti dihubungkan dengan keistimewaan-keistimewaan penting yang lain untuk sampai pada karakterisasi yang penuh arti. Dalam wayang ada sejumlah sindrom khas yang elemen-elemen utamanya adalah tinggi, postur, bentuk mata, bentuk hidung, dan bentuk torso.  Dalam bentuk boneka sendiri ada beberapa ciri-ciri bentuk yang menandakan sifat atau pembawaan, salah satunya adalah ciri pada wajah. Seperti contoh bentuk wajah Arjuna, ciri-cirinya adalah mata paling ciut, hidung mancung cenderung kebawah, kepalanya biasanya menunduk, yang kesemuanya menandakan kesabaran, tanggung jawab dan tidak mudah gentar. Selain itu banyak ciri-ciri lain yang memiliki makna yang berbeda-beda, yakni warna-warna pada wajah. Warna-warna pada wajah yang memilliki arti berbeda-beda, antara lain hitam yang bermakna kematangan dalam kedewasaan, kebajikan dan ketenangan, merah yang bermakna I nafsu-nafsu yang tidak terkendali, emas yang bermakna keindahan, status kerajaan, kepangeranan, dan kebasaran, dan warna putih yang bermakna keturunan bangsawan, muda, serta ketampanan. Terkadang dalam sebuah pertunjukan terdapat karakter yang sama yang tampil dengan warna wajah yang berbeda, ini untuk menandai aspek yang berbeda dari tokoh atau tingakatan-tingkatan dalam hidupnya. Selain itu ada juga tanda-tanda pada wajah yang memiliki arti, yakni jenggot. Jenggot menandakan kejantanan, seperti contoh yang terdapat pada wayang Bima. Selain dari tokoh-tokoh pewayangan tadi, ada juga tokoh-tokoh yang merupakan dewa-dewa Indonesia, yakni Semar, Gareng, Petruk. Mereka melambangkan suara rakyat desa yang sederhana, dengan semua kekuatan mereka, kesengsaraan, dan kebijaksanaan mereka.
Tujuan-tujuan dari ceritera-ceritera wayang (lakon) tadi adalah untuk menunjukkan sifat-sifat positif (baik) yang harus dimiliki manusia, selain itu juga lakon-lakon tadi digunakan semacam sejarah untuk anak-anak. Selain itu juga ceritera-ceritera wayang tadi terkadang terangkum dan diungkap dalam kitab-kitab suci, seperti kitab “Bhagawad Gita” atau nyanyian ketuhanan yang merupakan pengungkapan perasaan dilemma moral Arjuna pada saat sebelum perang melawan saudaranya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Clare, Holt. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: arti.line.
Esti. “Jenis Drama Dilihat Dari Segi Penggarapannya” esti2009indonesia.blogspot.com. [22 Desember 2010].
Prayitno, Hadi. “Materi Drama” bastinado.blogspot.com. [20 Juli 2010].
____. “10 Teater Tradisional Indonesia” segelaskopihangat.blogspot.com. [1 Oktober 2012].
____. “Sejarah Wayang Golek” segelaskopihangat.blogspot.com. [September 2012].

Komentar

Postingan Populer