Usia Kritis Belajar Bahasa
*disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Teori Belajar Bahasa yang diberikan Drs.
Wawan Hermawan, M.Pd. oleh Abdillah Al Hafidz (1102448); Adam Rahmat Fauzan (0900816); Agnia Purwa Andani (1104999); Alifah Nurfajrina (1100348).
[Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia]
I.
PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus mampu untuk
berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan manusia tak
akan mampu bertahan sendiri dan membutuhkan bantuan manusia lainnya. Tanpa
komunikasi, tidak mungkin seseorang akan dapat menyampaikan kebutuhannya dan
berinteraksi dengan orang lain. Maka dari itu, komunikasi adalah hal yang
penting dalam kehidupan manusia.
Untuk berkomunikasi manusia memerlukan sebuah alat
yang seragam agar komunikasi yang diciptakan dapat berfungsi dengan sebagaimana
mestinya. Alat komunikasi inilah yang akhirnya menjadi alat yang mutlak harus
dikuasai oleh setiap manusia.
Bahasa merupakan satu-satunya alat komunikasi antara
satu orang dengan orang yang lainnya. Manusia secara langsung ataupun tidak
langsung dituntut untuk dapat menguasai bahasa sebagai alat komunikasinya. Maka
dari itu terjadilah proses pembelajaran bahasa yang harus dilewati oleh setiap
manusia.
Manusia memulai proses pemerolehan bahasa mereka
dari nol. Hal ini menarik banyak peneliti untuk mengkaji perkembangan
pembelajaran bahasa pada manusia. Para peneliti mencoba untuk menjabarkan pola
perkembangan bahasa pada manusia hingga merumuskan di mana letak usia kritis
belajar bahasa.
A.
Pemerolehan
Bahasa Pertama
Dalam
proses pembelajaran bahasa, pemerolehan bahasa adalah hal pertama yang akan
dilalui oleh setiap manusia. Istilah pemerolehan bahasa dipakai dalam proses
penguasaan bahasa pertama, yaitu salah satu proses perkembangan yang terjadi
pada seorang manusia sejak ia lahir.
Di dalam berbagai penelitian telah terbukti bahwa
manusia normal mengalami tahap-tahap yang hampir sama dalam pemerolehan bahasa
pertama. Beberapa ahli mengatakan bahwa proses pemerolehan bahasa dimulai
sebelum kelahiran. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa pada umunya bayi
yang baru lahir menunjukkan reaksi tertentu ketika mendengar suara ibunya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bayi mulai mengenal suara ibunya sejak
dalam kandungan.
Pada masa-masa awal kehidupannya, bayi menggunakan
tangisan untuk berkomunikasi. Secara naluriah, pada umumnya seorang ibu akan mengenali
arti tangisan bayinya; mungkin bayinya lapar, basah, kedinginan, atau
kesakitan. Pada perkembangan selajutnya, pada usia sekitar 6 atau 7 minggu,
seorang bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan konsonan atau vokal.
Perkembangan ini dikenal sebagai proses mendekut (cooing). Sekitar umur 6 bulan, bayi mulai menghasilkan campuran
bunyi yang mirip konsonan dengan bunyi yang mirip vokal. Perkembangan ini
dikenal sebagai proses mengoceh atau berceloteh (babbling).
“Keajaiban” muncul ketika anak mulai mengucapkan
kata pertamanya. Setelah kata pertama, muncul kata yang lain dan seterusnya. Pada
masa ini anak menggunakan satu kata untuk mewakili berbagai makna, misalnya
kata mimik untuk berbagai makna seperti ‘ini susu’ atau ‘mau minum’. Inilah
tahap ujaran satu kata atau tahap ujaran holofrastik (holophrastic). Dalam tahap ini juga dapat terjadi gejala
penggelembungan makna (overextention).
Contoh gejala penggelembungan makna adalah kata gukguk yang dirujuk anak untuk
semua binatang berkaki empat.
Secara bertahap, anak mulai menggabungkan dua kata
untuk membentuk kalimat. Dalam proses ini anak mencoba menyusun kata walaupun
ia belum mampu menyertakan bentuk-bentuk pertikel atau imbuhan, seperti [ade?
Bobo?] ‘adik sedang tidur’ atau [duduk nini?] ‘ayo duduk sini’. Inilah yang
disebut tahap dua kata atau tahap ujaran telegrafik (telegraphic speech). Tahap ini disebut tahap ujaran telegrafik
karena bentuk ujaran pada tahap ini mirip dengan ujaran tertulis yang
terdapat di dalam telegram.
Setelah melampaui masa-masa di atas, perkembangan
kosa kata seorang anak meningkat dengan pesat. Pada usia 3 atau 4 tahun,
seorang anak memperoleh dasar kalimat yang biasa dibentuk oleh orang dewasa.
Pada masa ini kalimat-kalimat yang dihasilkan menjadi lebih kompleks. Pada usia
lima tahun, seorang anak mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang kompleks, dan
ketika ia berumur 10 tahun, kemampuan berbahasanya sama seperti kemampuan
berbahasa orang dewasa.
B.
Pembelajaran
Bahasa Asing
Menurut anggapan umum, anak-anak lebih unggul dalam
pembelajaran bahasa asing dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak lebih
cepat “menangkap” dan memahami kata-kata asing daripada orang dewasa. Benarkah
demikian?
Faktor-faktor
yang berperan besar dalam pembelajaran bahasa asing adalah faktor psikologis
dan faktor sosial. Faktor psikologis yang dimaksud adalah proses intelektual
yang melibatkan pemahaman struktur gramatikal dan aturan-aturannya, ingatan
atau memori yang sangat penting dalam pembelajaran, serta keterampilan motorik
yang meliputi penggunaan alat-alat ucap untuk memproduksi bunyi-bunyi dalam
bahasa asing. Faktor sosial dalam pembelajaran bahasa mempertimbangkan situasi,
termasuk interaksi, khususnya situasi alamiah dan situasi di dalam kelas.
Untuk memahami sturktur dan aturan-aturan di dalam
bahasa asing, ada dua cara yang dapat dipergunakan. Yang pertama adalah meminta
seseorang menerangkannya; yang kedua adalah menemukannya dengan cara kita
sendiri. Cara yang pertama disebut eksplikasi (explication), sedangkan cara yang kedua disebut induksi (induction).
Eksplikasi adalah ‘penjelasan aturan dan sturktur
bahasa asing dalam bahasa kita sendiri’. Proses ini jarang sekali dipakai
ketika seorang anak belajar bahasa pertama. Bayangkan saja jika seorang ayah
mengajarkan pemakaian kata lari kepada anaknya yang berusai empat tahun.
“Nah,
nak, pergunakanlah ber- pada kata lari. Jangan pakai me-, ya. Itu tidak ada di
dalam bahasa Indonesia. Boleh juga kamu memakai me- dan –kan. Tapi, arti
berlari dan melarikan berbeda ,lho!”
Tentulah si anak – yang tingkat kecerdasannya normal
– akan merasa bingung dengan apa yang dikatakan ayahnya.
Induksi adalah ‘cara mempelajari struktur atau
aturan bahasa asing dengan mengulang-ulang kata, frasa, atau kalimat dalam
sutuasi yang relevan sehingga diperoleh pemahaman yang tepat’. Dengan cara ini
seorang pemelajar bahasa asing akan menganalisis dan menemukan generalisasi
atau aturan dalam struktur bahasa yang dipelajarinya. Dalam situasi berikut,
seorang pemelajar bahasa Indonesia akan memahami aturan membuat kalimat negatif
dalam bahasa Indonesia.
Di
dalam pembelajaran bahasa kita juga harus mengandalkan ingatan atau memori.
Memori berperan dalam proses mengingat struktur dan aturan dalam bahasa asing.
Orang dewasa menggunakan strategi untuk mengingat dengan cara ‘menghafal di
luar kepala’ (rote). Kemampuan untuk menghafalkan sejumlah kata dalam bahasa
asing ini berpengaruh besar dalam proses pembelajaran bahasa asing. Anak-anak,
terutama yang belum bisa membaca dan menulis, pada umumnya tidak menggunakan
strategi ini.
Hal lain yang juga berkaitan dengan faktor
psikologis adalah keterampilan motorik. Pada masa pertumbuhan, otak sebagai
pengendali alat ucap anak masih sangat “lentur”. Hal itu mempermudah anak untuk
menirukan pengucapan kata-kata asing, karena pada masa ini ia masih melatih
berbagai keterampilan motoriknya, termasuk di antaranya adalah alat ucapnya.
Pada orang dewasa, alat ucap, cara mengucapkan bunyi bahasa, dan persepsi
mengenai bunyi bahasa sudah terbentuk dalam pemerolehan bahasa pertamanya.
Karena itu, pembelajaran bahasa asing bagi orang dewasa, terutama dalam hal
pelafalan, akan memakan waktu yang lebih lama.
Namun, hal-hal di atas juga harus didukung oleh faktor
lain yang tak kalah penting yaitu faktor sosial. Faktor sosial ini masih
dibedakan menjadi dua hal. Yang pertama adalah situasi natural. Yang kedua
adalah situasi di dalam kelas bahasa asing.
Seorang anak lebih mudah belajar bahasa asing dalam
situasi yang sangat alami, misalnya dalam situasi bermain. Bagi anak-anak,
beradaptasi dengan lingkungan yang baru akan lebih mudah jika dibandingkan
orang dewasa. Karena itu, jangan heran jika ada seorang anak Indonesia yang
baru tinggal satu bulan di Korea sudah pandai berkomunikasi dengan teman
Koreanya, sementara kedua orangtuanya masih dengan susah payah melafalkan dan
menghafalkan kata-kata dalam bahasa Korea.
Untuk
orang dewasa, situasi kelas bahasa asing lebih cocok dalam proses pembelajaran
berbahasa, karena mereka “dikondisikan” untuk berbicara dalam bahasa asing.
Arahan dan bimbingan guru yang tepat membuat mereka merasa aman jika kesalahan
mereka pada saat melafalkan atau menuliskan kata diperbaiki. Selain itu mereka
lebih mudah menangkap materi ajar dalam proses eksplikasi sehingga proses pembelajaran
berbahasa asing menjadi lebih mudah dilakukan di dalam kelas.
C.
Usia
Kritis Belajar Bahasa
Di dalam proses pembelajaran bahasa dikenal pula
istilah hipotesis umur kritis (Critical
Age Hypothesis). Hipotesis ini mempertimbangkan usia sebagai faktor untuk
mencapai kemampuan berbahasa. Periode usia kritis ini lahir dari berbagai
pengamatan yang didasari banyak kenyataan bahwa anak-anak lebih cepat dan lebih
berhasil dalam memungut bahasa di suatu masyarakat bahasa tertentu. Sementara
itu orang tua mereka mengalami banyak kesulitan untuk memungut habasa tersebut.
Menurut Lenneberg (1967), usia 2 sampai 12 tahun
merupakan usia yang sangat ideal untuk mencapai kemampuan berbahasa seperti
penutur asli bahasa asing. Ia berpendapat sebelum usia dua tahun seseorang
tidak mungkin belajar bahasa asing karena kekurangan kedewasaan otak. Dan
setelah usia pubertas seseorang akan mendapat kesulitan dalam belajar bahasa
asing, terutama dalam pengucapan (pronunciation)
karena berkurangnya plantisias tertentu untuk belajar bahasa asing secara
alamiah. Dengan merujuk hipotesis Lenneberg tersebut, Scovel (1969) berpendapat
bahwa tidaklah mungkin seorang dewasa bisa menguasai bahasa asing tanpa
kehilangan aksen bahasa utamanya.
Apabila dikaitkan dengan teori perkembangan bahasa
dari Piaget, tentang usia paling muda dalam belajar bahasa asing dari
Lenneberg, ada kesesuaian dan kesamaannya. Jean Piaget mencatat bahwa thapan LInguistik 1 (Holofrastik) diperoleh
pada usia 2 tahun. Sebelum usia tersebut (dalam memperoleh bahasa pertama) anak
baru berada pada Tahapan Meraban.
Rosansky (1975) dan Krashen (1975) menghubungkan
usia kritis ini dengan teori perkembangan mental-intelektual Jean Piaget.
Diungkapkannya bahwa permulaan tahapan “operasi formal” istilah Piaget (usia 11
tahun) merupakan awal dari babak akhir periode usia kritis belajar bahasa
asing. Pada permulaan “operasi formal”, seseorang telah mampu mengembangkan
kepasitas berpikir abstrak dan mampu merefleksikan kaidah-kaidah linguistik
yang digunakan. Ia telah mampu mengambil jarak dengan bahasa yang
diproduksinya. Ia mampu mengamati tingkah laku linguistiknya. Akibat anak mampu
menciptakan bahasanya sendiri secara abstrak. Hal ini merupakan pertanda bahwa
belajar bahasa asing secara alami telah terganggu.
Tylor (1974) dan Schumann (1975) menghubungkan
periode usia kritis ini dengan perubahan afektif seseorang pada permulaan
pubertas. Dikemukakannya bahwa
1) Anak-anak
mempunyai kapasitas empatik yang lebih besar daripada orang dewasa. Kapasitas
empatik merupakan faktor penentu keberhasilan belajar bahasa asing secara alami.
2) Anak-anak
sebelum usia pubertas belum mengembangkan hambatan-hambatan identitas diri, dan
karenanya ia tidak peduli dengan risiko salah dalam bereksperimen melalui
pengetahuan bahasanya yang masih sederhana itu.
3) Anak-anak
yang masih di bawah masa pubertas mempunyai motivasi integrative yang kuat.
Artinya mereka belum mengembangkan sikap negative terhadap penutur bahasa asing
yang dipelajarinya itu.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dalam
usaha memperoleh bahasa yang baginya baru itu menggunakan saringan kognitif dan
afektif yang sangat rendah. Sebaliknya, usia anak-anak pada saat bahasa
dipelajari di dalam kelas yang memberikan penekanan terhadap kebenaran formal.
Orang dewasa memiliki kelaebihan kapasitas penyimpanan ingatan, mempunyai kapasitas
analitik yang lebih luas, dan dapat mengembangkan motivasi instrumental sebagi
dorongan untuk belajar dengan usaha keras dalam situasi kelas belajar semacam
itu.
Hipotesis usia kritis belajar bahasa ini sampai kini
masih menjadi perdebatan. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau sekarang
banyak orang tua yang berusaha mengajakan bahasa asing kepada anak mereka atau
menyekolahkan mereka ke sekolah yang mengajarkan bahasa asing pada usia dini.
Sebenarnya, baik anak-anak maupun orang dewasa
masing-masing mempunyai keunggulan dalam pembelajaran bahasa asing. Anak-anak
lebih mudah belajar bahasa asing karena beban mereka sebagai makhluk sosial
belum banyak. Mereka mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dibandingkan
orang dewasa yang mempunyai banyak beban sosial. Jadi, biasanya mereka sangat
unggul dalam keterampilan berbicara, khususnya dalam hal pengucapan seperti
penutur asli. Orang dewasa biasanya lebih unggul dalam hal penggunaan tata
bahasa, kerterampilan membaca atau keterampilan menulis dalam bahasa asing
karena mereka sudah mempunyai modal keterampilan membaca dan menulis dalam
bahasa pertama.
III.
PENUTUP
Setiap manusia akan mengalami fase
pembelajaran bahasa, baik itu bahasa pertama yang diperoleh sejak lahir maupun
bahasa asing yang dipelajari secara eksplikasi dan juga secara induksi.
Dalam rentang waktu kehidupan
manusia, para peneliti telah berhipotesa mengenai rentang waktu (usia) mana
yang optimal bagi perkembangan bahasa manusia. Hipotesis yang telah dikemukakan
para ahli tersebut pada saat ini banyak dijadikan dasar bagi para orang tua dan
pendidik dalam mengupayakan pembelajaran bahasa bagi anak-anak yang diasuhnya. Mengoptimalkan
rentang waktu yang ditunjukkan hipotesis ini bisa jadi sangat bermanfaat,
karena betapapun hipotesis ini masih diperdebatkan, namun hipotesis ini merupakan
hasil kajian para ahli dari beberapa pendekatan psikologi manusia.
Alangkah lebih baik bila para orang
tua dan para pendidik juga tidak terfokus pada hipotesis ini sebagai rujukan
untuk proses pembelajaran anak-anak asuh mereka. Orang tua dan pendidik pun
perlu untuk melihat faktor lain selain faktor psikologis yang menjadi dasar
berpijak hipotesis tersebut. Hal ini penting agar orang tua dan pendidik tidak
membatasi kemampuan manusia hanya dalam berberapa rentang waktu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, Ito. 2000. Dasar-dasar Belajar Bahasa I
(Karakteristik Pembelajaran). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Yuwono, Untung dan Kushartanti.
2005. Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
makasih..
BalasHapussama-sama, semoga bermanfaat.. :)
Hapus