MEMAHAMI IMPLIKATUR PERCAKAPAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIREUNDEU TENTANG TRADISI MAKAN SINGKONG
Adam Rahmat Fauzan
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Tradisi Berdasarkan asal katanya,
berasal dari bahasa latin traditio yang
berarti kabar atau penerusan. Hal yang diteruskan biasanya berasal dari masa
lampau yang berisi tentang adat, keyakinan, perilaku tata masyarakat, dan
proses kemasyarakatan yang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi selalu
berkait dengan masa lampau, kebudayaan, pelestarian sebuah kebudayaan, dan
proses penerusan suatu kebudayaan kepada generasi berikutnya (Sumardianta,
2012:21). Salah satu
masyarakat adat di Indonesia yang berjuang untuk meneruskan tradisi turun
temurun mereka adalah masyarakat adat sunda kampung Cireundeu. Sejak
zaman nenek moyang (karuhun) kira-kira dimulai pada Tahun 1918,
masyarakat Cireundeu sudah mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Dengan
berbagai kesulitan yang dihadapi oleh warga kampung Cirieundeu, mereka tetap
berusaha untuk melestarikan tradisi mereka. Inilah hal unik yang awalnya
membuat penulis tertarik untuk mencari tahu peranan bahasa dalam pelestarian
tradisi mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode
deskriptif. Hal ini karena digunakan untuk menggambarkan keadaan yang terjadi
di lapangan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
dan observasi. untuk menggiring temuan pada suatu kesimpulan, penulis
akan mengajukan beberapa hipotesis (mungkin juga disebut eksplikatur). Hipotesis tersebut adalah (1) singkong solusi
krisis pangan, (2) singkong sesuai dengan kontur kampung, (3) singkong lebih praktis, dan (4) tidak
boleh makan beras. Berdasarkan hasil analisis, penulis dapat menyimpulkan bahwa beragam
tuturan yang dituturkan oleh warga kampung adat Cireundeu untuk menjawab
pertanyaan “Kenapa menjadikan singkong makan pokok?” memiliki implikatur percakapan.
Dan dari penelusuran yang telah dilakukan pada masa penelitian yang singkat,
dapat penulis tunjukkan bahwa segala temuan mengarah pada satu implikatur,
yaitu “Kami tidak boleh makan beras.”
Abstract
Tradition, Based on
his origin word, is derived from the Latin’s word that is traditio which means forwarding.
It is usually transmitted from the past that contains about customs, beliefs, behavior
of social order, and other social processes. It can be concluded that the tradition
is always linked with the past, culture, preservation of a culture, and the
process of forwarding a culture to the next generation (Sumardianta, 2012:21). One
of the indigenous people in Indonesia are struggling to continue their hereditary
tradition is Cireundeu indigenous Sundanese village. Since the time of the
ancestors begins at approximately 1918, Cireundeu people already consume cassava
as a staple food. With the difficulties was faced by the villagers of Cireundeu,
they still try to preserve their traditions. This is the unique thing that made
the authors interested to finding out the role of language in the preservation
of their traditions. This study used a qualitative approach and descriptive methods.
This is because it is used to describe the situation on the ground. While data
collection techniques used interviews and observation. findings to lead a
conclusion, the author will propose some hypotheses (possibly also called eksplikatur).
The hypothesis is (1) cassava food crisis solution, (2) cassava fit the contours
of the village, (3) cassava is more practical, and (4) should not eat rice.
Based on the analysis, the authors conclude that the various utterances spoken by Cireundeu indigenous villagers to answer the question "Why make cassava as staple food ?" Has a conversational implicature. And of searches have been carried out on the short duration of the study, the authors could show that any findings lead to the implicature, that "We should not eat rice."
Based on the analysis, the authors conclude that the various utterances spoken by Cireundeu indigenous villagers to answer the question "Why make cassava as staple food ?" Has a conversational implicature. And of searches have been carried out on the short duration of the study, the authors could show that any findings lead to the implicature, that "We should not eat rice."
1.
Pendahuluan
Tradisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Berdasarkan asal katanya, tradisi
berasal dari bahasa latin traditio yang
berarti kabar atau penerusan. Hal yang diteruskan biasanya berasal dari masa
lampau yang berisi tentang adat, keyakinan, perilaku tata masyarakat, dan
proses kemasyarakatan yang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi selalu
berkait dengan masa lampau, kebudayaan, pelestarian sebuah kebudayaan, dan
proses penerusan suatu kebudayaan kepada generasi berikutnya (Sumardianta,
2012:21).
Salah satu
masyarakat adat di Indonesia yang berjuang untuk meneruskan tradisi turun
temurun mereka adalah masyarakat adat sunda kampung Cireundeu. Cireundeu merupakan
salah satu kampung adat yang masih ada di Jawa Barat hingga kini. Kampung
tersebut terletak di kota Cimahi, tidak jauh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah Leuwi Gajah yang beberapa tahun silam diguncang bencana longsor dan
menelan korban ratusan jiwa.
Salahsatu tradisi unik yang terdapat pada masyarakat Cireundeu adalah
tradisi mereka yang masih mengonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Tradisi
mengonsumsi singkong ini menjadikan masyarakat Cireundeu mandiri dan
tidak tergantung pada beras yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia pada
umumnya. Hal ini menyebabkan keterbataan dan kelangkaan pasokan beras di
Indonesia tidak akan berpengaruh pada keidupan masyarakat Cireundeu.
Sejak zaman nenek moyang (karuhun) kira-kira dimulai pada Tahun
1918, masyarakat Cireundeu sudah mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok
serta mampu mengolah singkong tersebut menjadi aneka hidangan lain seperti rasi
(beras singkong), dendeng singkong, rollegg
singkong, dan lain-lain.
Dengan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh warga
kampung Cirieundeu, mereka tetap berusaha untuk melestarikan tradisi mereka.
Berbagai tantangan tidak membuat mereka mengalah dan mengikuti arus yang ada.
Bahkan fenomena berasnisasi pun tidak
memengaruhi mereka. Inilah hal unik yang awalnya membuat penulis tertarik untuk
mencari tahu peranan bahasa dalam pelestarian tradisi mereka.
Seperti yang telah diketahui, bahasa merupakan
satu-satunya alat komunikasi yang dimiliki oleh manusia. Menurut Chaer
(2010:14) secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
konsep, atau juga perasaan. Pengertian ini membuat kita dapat menyimpulkan
bahwa pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan hanya dapat tersampaikan melalui
bahasa.
Pada tanggal 5 Mei 2013, penulis mencoba mencari tahu
peran bahasa bagi pelestarian tradisi di kampung Cireundeu. Dan dari pengamatan
yang penulis lakukan, sebenarnya tidak ada bahasa-bahasa yang bersifat larangan
dalam proses transfer pemahaman (ideologi) dari orang tua kepada anaknya. Dari
pernyataan-pernyataan atau tuturan-tuturan yang dituturkan masyarakat Cireundeu
yang bersentuhan dengan penulis, penulis berusaha menyimpulkan alasan
pelestarian tradisi makan singkong di desa ini. Untuk mendapatkan simpulan,
penulis berusaha menghubungkan tuturan satu dengan yang lainnya dan merumuskan
implikatur percakapan yang tepat yang bisa membuat ujaran-ujaran tersebut
menjadi logis.
2.
Implikatur Percakapan
Junaiyah (2010:11) menyatakan,
implikatur adalah ujaran yang menyiratkan maksud yang berbeda dari apa yang
diucapkan. Maksud yang berbeda itu tidak dikemukakan secara eksplisit, tetapi
implisit, hanya disiratkan. Dengan kata lain, implikatur ialah maksud,
keinginan, atau ungkapan hati yang tersembunyi. Nababan (dalam Junaiyah, 2010:11)
mengatakan bahwa implikatur berkaitan dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi
di dalam proses komunikasi. Konsep kebermaknaan itu diperlukan untuk
menerangkan perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang diimplikasikan.
Jika di dalam suatu percakapan, salah satu pesertanya tidak paham dengan arah
pembicaraan (komunikasi itu), maka biasanya timbul pertanyaan, “Maksud Anda?”,
“Bagaimana?”, dan sebagainya. Munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam
pragmatik bertujuan untuk mencari tambahan informasi yang disebut inferensi.
Dalam percakapan, pembicara
sering tidak langsung mengutarakan maksudnya. Apa yang diingikan justru
disembunyikan lewat ucapannya yang tidak langsung. Bahkan, yang diucapkannya
bisa sangat berbeda dari apa yang dimaksudkannya. Perhatikan percakapan di
bawah ini.
Rika : Aku belum makan,
Bu.
Ibu : Nanti, Nak.
Bapakmu belum pulang.
Dalam percakapan antara Rika
dan Ibu pada contoh di atas itu mengandung implikatur. Ibu dapat memahami
tuturan Rika, yakni” minta makan” yang dijawab oleh tuturan Ibu yang bermaksud
menyampaikan pesan “belum ada yang bisa dimakan” atau “kita makan bersama
bapak”. Maksud dari tuturan Rika dan Ibu masing-masing bisa saling dipahami
meskipun kalimat yang diucapkan oleh mereka sama sekali sepertinya tidak saling
berkait.
Berkaitan dengan implikatur,
sebenarnya terdapat prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pembicara agar
percakapan dapat berjalan lancar. Prinsip ini dihadirkan untuk membedakan
tuturan yang mengandung implikatur dengan tuturan “baik” yang tidak mengandung
implikatur. Prinsip-prinsip ini dikenal sebagai prinsip kerjasama. Grice (dalam
Kushartanti, 2005:106) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang
pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati
oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun
interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keenpat
maksim percakapan itu adalah
a)
maksim
kuantitas (maxim of quantity);
b)
maksim
kualitas (maxim of quality);
c)
maksim
relevansi (maxim of relevance); dan
d)
maksim
cara (maxim of manner)
2.1. Maksim
Kuantitas
Berdasarkan maksim kuantitas,
dalam percakapan puenutur harus memberikan kontribusi yang secukupnya kepada
mitra tuturnya. Perhatikan contoh berikut!
A: Anak gadis kamu sudah punya pacar?
B: Anak gadis saya yang perempuan sih sudah.
Tuturan B yang menyebutkan anak
gadis saya, sebetulnya tidak perlu ditambahi perempuan, karena gadis sudah
pasti perempuan. Tuturan seperti ini secara sadar ataupun tidak telah menyalahi
maksim kuantitas. Oleh karena itu, tuturan B bisa kita pastikan mengandung
implikatur.
Pada situasi ini, A perlu
mengerti konteks anak gadis B. Mungkin saja B memiliki anak gadis yang bersifat
seakan laki-laki, atau memiliki anak laki-laki yang hobby bersolek layaknya
gadis. Bila A mengerti maksud dari tuturan B, pasti tidak akan muncul
pertanyaan kembali dari A. Namun apabila A tidak mengerti, mungkin A akan
kembali bertanya “Memangnya ada anak gadismu yang laki-laki?”
2.2. Maksim
Kualitas
Berdasarkan maksim kualitas,
peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Perhatikan contoh
berikut!
C: Siang-siang di pantai yang gak turun hujan itu panas ya?
D: Gak, dingin tahu!
Pada percakapan di atas, jelas
sekali bahwa D tidak memenuhi prinsip kerjasama (dalam hal ini maksim
kualitas). Hal itu bisa kita lihat dari jawaban D atas percanyaan C. D menjawab
pertanyaan C dengan jawaban yang tidak benar.
Situasi seperti ini sering
terjadi, dan kita tentu bisa pahami maksud tutran D atas pertanyaan C ini
bukanlah maksud yang sebenarnya. Dalam konteks percakapan di atas, D munkin
saja bermaksud mengungkapkan “Jangan tanya-tanya terus!” atau maksud sejenis
lainnya.
2.3. Maksim
Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi,
setiap peserta percakapan memberikan kontrbusi yang relevan dengan situasi
pembicaraan. Berikut percakapan yang tidak memenuhi maksim relevansi.
E: Punya uang gak?
F: Kemarin dipinjem Cepot.
Dalam percakapan di atas bisa
kita lihat bahwa tuturan F sama sekali tidak menjawab pertanyaan E. F malah
menuturkan tuturan yang lain dan bisa dipastikan F melanggar maksim relevansi
sehingga tuturan F menimbulkan implikatur yang bila dilihat dari konteks E yang
hendak meminjam uang, maka F bermaksud mengatakan “Saya gak akan minjemin
uang.”.
2.4. Maksim Cara
Berdasarkan maksim cara, setiap
peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan.
Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang
diperguanakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Berikut ini
percakapan yang tidak memenuhi maksim cara.
G: Kamu pilih Fanny atau Siska buat jadi pacar kamu?
H: Meskipun nakal, Fanny cantik sih, tapi Siska selain baik dia
juga pintar.
Dari percakapan di atas, bisa
kita lihat tuturan H sama sekali tidak menjawab pertanyaan G. H malah terdegar
menimbang dan membandingkan Siska dengan Fanny. Dan untuk mengetahui maksud
tuturan H, G harus mengerti sifat H. Bila H lebih mengedepankan fisik, maka ia
tentu memilih Fanny. Namun bila H lebih memilih karakter, maka ia akan memilih
Siska.
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dan metode deskriptif. Hal ini karena digunakan untuk menggambarkan keadaan
yang terjadi di lapangan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara dan observasi.
4.
Temuan Penelitian dan Pembahasan
Hal yang pada awalnya ingin diketahui oleh penulis adalah
alasan warga kampung adat Cireundeu menjadikan
singkong sebagai makanan pokok mereka. Maka dalam beberapa kesempatan,
penulis menanyakan hal itu. Jawaban dari pertanyaan itu ternyata hampir
seragam, yaitu tuturan semisal “Makan singkong juga sehat kok!”, “Dengan makan
singkong, warga kita tidak bergantung harga beras.”, dan lain-lain.
Dari jawaban-jawaban demikian, penulis merasa ada hal
yang tidak ditampakkan (implisit) yang tidak ditampakkan warga. Hal tersebut
dikarenakan jawaban yang warga kampung Cireundeu sampaikan menyalahi prinsip
kerjasama, khusunya maksim relevansi. Karena tuturan seperti itu melanggar
salah satu maksim dari empat maksim pada prinsip kerjasama, maka dapat
dipastikan tuturan tersebut mengandung implikatur.Untuk mengetahui implikatur
tersebut, penulis memerlukan inferensi yang cukup. Maka penulis pun mencoba
untuk mengumpulkan banyak argumen warga hingga penulis mampu menyimpulkan
sendiri implikatur percakapan yang muncul.
Selain itu, untuk menggiring temuan pada suatu
kesimpulan, penulis akan mengajukan beberapa hipotesis (mungkin juga disebut
eksplikatur). Hipotesis tersebut adalah
(1) singkong solusi krisis pangan, (2) singkong sesuai dengan kontur kampung, (3) singkong lebih praktis, dan (4) tidak
boleh makan beras.
Temuan yang berhasil penulis dapatkan adalah sebagai
berikut:
a.
Kontur
kampung yang menurut mereka tidak memungkinkan ditanami padi
Temuan ini didapat dari hasil wawancara dengan
salahseorang penduduk kampung adat Cireundeu. Ibu Wida mengatakan “kan kalo di sini mah hasil buminya lebih ke singkong.
singkong terus kacang tanah, jagung, yang kayak gitu kan. soalnya kontur di
sini kan pegunungan, nggak bisa nanem padi.”.
Sekilas
tuturan Ibu Wida memang seakan tepat, tapi tuturan Ibu Wida ini bila kita
kritisi lebih lanjut akan menimbulkan pertanyaan baru seperti “Mengapa tidak
pilih jagung atau kentang saja?”. Jagung dan kentang pun dapat dijadikan
makanan pokok. Rasa keduanya pun lebih enak dibandingkan singkong.
Melalui analisis seperti di atas, kita dapat menyanggah
hipotesis (3) yang menjadikan kontur
kampung sebagai implikatur percakapan untuk alasan memakan singkong.
b.
Ada penduduk kampung Cireundeu
yang memiliki sawah dan bertani
Temuan berikutnya adalah adanya penduduk kampung yang
bertani di sawah dan menjual beras hasil panennya. Temuan ini didapat dari
hasil wawancara penulis dengan Abah Widi. Beliau mengatakan, “Di sini juga ada ko warga sini yang punya
sawah. Ke sawah biasa nyawah. Tapi hasilnya pas panen da dimakan, tapi buat
dijual.”.
Dari tuturan Abah Widi di atas, penulis bisa menemukan
hal menarik. Masyarakat Cireundeu sama sekali tidak mengalami krisis pangan.
Sebenarnya mereka masih mampu untuk memakan beras, terlebih beberapa dari
mereka masih memiliki sawah. Dengan temuan ini, hipotesis (1) pun terbantahkan.
c.
Penduduk kampung Cireundeu akan bertanya bahan
dasar makanan sebelum memakannya
Temuan yang ketiga adalah kenyataan bahwa bila penduduk
kampung adat Cireundeu bepergian keluar kampung. Mereka akan bertanya terlebih
dahulu bahan dasar makanan yang akan mereka makan. AbahWidi bertutur, “Sebelum kita makan sesuatu, kita harus tahu
dulu bahan-bahan makanan itu apa. Kalau ada mengandung unsur beras, tidak akan
kita makan.”.
Dari tuturan tersebut, penulis mendapat dua hal penting.
Pertama, bertapa pentingnya bagi mereka untuk tidak makan makanan yang berbahan
beras. Kedua, kenyataan itu membuat singkong tidak praktis. Betapa tidak,
mereka harus bertanya-tanya dulu sebelum memakan sesuatu. Apalagi dalam tuturan
lain, Abah Widi mengatakan akan membawa sangueun
dari rumah bila makan di tempat makan umum. Dengan begitu, hipotesis (3)
terbantahkan.
d.
Ada perlakuan khusus bagi mereka yang hendak
memulai makan beras.
Temuan terakhir adalah adanya perlakuan khusus serupa
syukuran bagi mereka yang ingin mulai membiasakan makan beras. Meskipun tidak
dijelaskan secara rinci, namun hal ini menunjukan bahwa temuan ini semakin
memperkuat hipotesis (4) yang juga didukung oleh temuan ketiga.
5.
Simpulan
Berdasarkan hasil
analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa beragam tuturan yang
dituturkan oleh warga kampung adat Cireundeu untuk menjawab pertanyaan “Kenapa
menjadikan singkong makan pokok?” memiliki implikatur percakapan. Dan dari
penelusuran yang telah dilakukan pada masa penelitian yang singkat, dapat
penulis tunjukkan bahwa segala temuan mengarah pada satu implikatur, yaitu
“Kami tidak boleh makan beras.”. Adapun perluasan alasan lanjutan implikatur yang
penulis dapatkan bisa dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang akan datang.
Pustaka Rujukan
Chaer, Abdul dan Leonie
Agustina. 2010. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Junaiyah H. M. dan E. Zaenal
Arifin. 2010. Keutuhan Wacana. Jakarta:
Grasindo.
Kushartanti dan Untung Yuwono.
2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumardianta J. dkk. 2012. Sejarah untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta:
Grasindo.
Sastrawijaya, Vany. 2012. “Kampung Cireundeu Sebagai Kampung Adat yang
Memiliki Modal Sosial. http://vanysastrawijaya.wordpress.com.
[21 Mei 2012].
Komentar
Posting Komentar