Hidup Dalam Untaian Hikmah


oleh:
(Adam Rahmat Fauzan)

Pagi itu udara terasa amat dingin menusuk kulit, ketika Mahmud anak seorang Kepala Desa yang kini sedang melanjutkan kuliah di kota kembang telah siap di depan kosannya. Mahmud terlihat amat bersemangat menyambut hari ini. Dengan mengenakan batik yang selalu ia banggakan, ia terlihat sangat rapi dengan rambut potongan pendek, celana hitam, sepatu kulit dan tas kuliah yang ia gendong. Mahmud mulai berkuliah di Kota ini sejak tahun 2009 lalu, ia kuliah di sebuah Universitas Negeri yang berada di sebelah Utara kota ini. Ia pun mulai melangkahkan kakinya menutup pagar kosan yang telah ditempatinya sejak 3 tahun yang lalu ini. Dalam benaknya ia masih ingat hari pertama ia menginjakkan kaki di kosan sederhana ini, bayangan akan hidup yang getir pun mulai muncul kembali.
Semasa duduk di bangku SMA Mahmud merupakan anak yang pintar. Pintar dalam segala hal, baik itu yang berhubungan dengan akademik maupun ekstrakurikuler. Namun
tidak hanya tentang hal yang positif saja, Mahmud pun ternyata pintar dalam hal-hal negatif. Ia juga terkenal pintar dalam menipu. Ya, dia memang sangat pintar menipu. Dengan wajah yang polos dan terlihat baik itu ditambah dengan predikat yang telah ia dapat yaitu predikat Juara Umum di sekolahnya, tidak satu pun guru dan penduduk desa tau akan kenakalannya. Sepandai pandai tupai meloncat pasti ia akan jatuh juga. Itulah pribahasa yang mampu menggambarkan kemalangan Mahmud. Saat ia harus diusir dari rumahnya.
Masih hangat dalam ingatannya ketika pada suatu malam ia tertangkap basah oleh penduduk desa sedang berpesta minuman keras bersama kedua temannya Anto dan Rudi. Bukan hanya itu, ia pun terkena fitnah telah mencuri ayam salah satu penduduk desa sampai-sampai ia dan kedua temannya dipukuli hingga babak belur. Memang, diantara mereka Rudi lah yang telah mencuri ayam warga, tapi Mahmud dan Anto tidak ambil peran dalam hal ini.
“bak..buk...bak..buk.. pukul..!! hajar bangsat-bangsat ini...!!” saat itu teriakan-teriakan semacam itu bertubi-tubi diterima dan terasa pedih bagi telinga Mahmud dan kawan-kasdwannya.
Malam itu menjadi malam terakhir bagi Mahmud menghirup udara desanya. Setelah ia diarak warga, ia pun akan dihadapkan pada ayahnya yang tidak lain merupakan Kepala Desa saat itu. Dalam keadaan teler dan babak belur Mahmud pun dibawa ke rumahnya. Beruntung bagi Mahmud, meski hanya untuk beberapa saat, ayahnya tidak sedang berada di rumah karena sedang mengikuti rapat di Kecamatan. Ia pun kemudian ditidurkan oleh ibunnya dikamar yang bila ia tau akan ia tinggalkan malam ini juga. Dengan kasih sayang ibunya merawat Mahmud dan mengobati luka-luka pukulan warga yang geram.
“kenapa jadi begini nak...??” seru ibu lirih dengan berurai air mata.
Tengah malam pun tiba, tidak seperti yang dirasakan oleh kebanyakan penduduk desa, suasa hening yang melelapkan setiap orang dalam mimpinya masing-masing saat ini tidak lah berlaku di kediaman Kepala Desa. Di kediaman kepala desa saat ini sedang terjadi keributan.
Malam itu kepala desa pulang dari Kecamatan dengan menyunggingkan senyum dibibirnya. Ia tidak sabar bertemu dengan Mahmud anaknya untuk mengabarkan kabar gembira hasil rapat kecamatan yang akan memberikan beasiswa untuk pemuda desa yang berprestasi. Dan yang terpilih dalam rapat itu adalah Mahmud anaknya. Namun ketika sampai di gerbang rumah dinasnya, ia terheran-heran dengan banyaknya warga yang berkumpul di depan rumahnya. Setelah ia mendengar laporan dari warga, serta merta senyum yang dibawanya dari kantor kecamatan pun sirna dan berubah menjadi murka. Dengan murkanya ia masuk ke kamar tempat Mahmud beristirahat dengan berteriak-teriak. Sang Kepala Desa merasa kecewa dan terkhianati oleh anak tunggal yang sangat disayanginya ini. Mahmud hanya bisa terdiam, sedari tadi memang dia belum juga tertidur. Ia berusaha mencari alasan yang tepat untuk membela diri bila tiba saatnya dia untuk dimarahi ayahnya. Tapi sia-sia sedaya usahanya tersebut. Karena tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk membela diri dari kata-kata yang mengamuk dari mulut ayahnya. Dan tanpa ia perhitungkan entah dengan sadar ataupun tidak ayahnya mengeluarkan kata-kata pengusiran.
“pergi kau dari rumah ini! Mulai saat ini kau bukan lagi anakku. Jangan pernah kau coba menginjakkan kakimu di rumah ini!” teriak ayahnya.
Saat itu dunia terasa terhenti, seluruh benda yang ada di hadapannya terasa menciut, suara-suara gaduh pengiring malam pun sedikit demi sedikit menghilang dari pendengarannya. Hingga tarikan tangan ayahnya menyadarkannya dari semua itu. Ia digusur ayahnya dan dihempaskan ke teras rumah. Meski ibunya sedari tadi menahan kehendak ayahnya, namun itu sia-sia saja. Ayahnya sudah dikuasai amarah dan tidak berniat untuk sedikitpun menarik kembali ucapannya. Pintu rumah pun kini telah tertutup dengan gebrakan yang menusuk hati Mahmud. Saat itu Mahmud baru sadar bahwa apa yang ia lakukan dan yang tidak ia lakukan telah membawanya pada bencana. Dengan gontai dan kebingungan ia pun melangkah menjauh dari rumah. Ia tak tau akan pergi ke mana malam itu. Tampa uang, tanpa pakaian tanpa semangat dan  harapan. Ia pun tak sadar pintu rumah kembali terbuka. Ibunya berlari mengejar, memanggil namanya dan memeluknya erat.
“ibu akan selalu mendoakanmu nak..” seru ibu lirih sembari menyodorkan uang yang Mahmud terima tanpa kata. Yang belakangan ini ia sadari tentu kata “terima kasih” akan sangat berarti ketika itu.
***
Hari ini terik mentari terasa menusuk kulit, namun panas itu tidaklah dirasa oleh Mahmud. Saat ini perasaan Mahmud sedang tidak menentu. Antara senang dan takut, ia berjalan menuju halte bus. Ditengah jalan, ia melewati sebuah masjid. Masjid tempat ia biasa mengisi pengajian remaja dan anak-anak. Masjid itu masih tampak seperti biasa, namun ada sesuatu yang terlintas di pikiran Mahmud saat ini. Melihat masjid tersebut matanya mulai menerawang ke suatu tempat yang penuh kenangan. Tempat yang membawa perubahan pada hidupnya.
“semua memang atas izin Allah.. terima kasih ya Allah..”. gumamnya dalam hati.
 ***
Malam itu ia berjalan tak tentu arah, ia tak punya saudara disekitar desa. Ia pun tak mungkin minta bantuan teman-temannya. “Mana bisa keluarga teman-temannya menerima dirinya yang dianggap pencuri”. Pikirnya dalam hati. Tak terasa telah jauh ia berjalan. Entah telah berapa lama ia melangkahkan kakinya. Kakinya memang lelah, tapi hatinya jauh lebih lelah saat ini. Berjuta rasa bergelayut dalam hatinya. Sedih, sesal dan amarah membuat ia merasa lelah. Bukan hanya lelah tuk berjalan, tetapi juga kelelahan untuk sekedar bernapas. Ia pun mulai memasuki daerah perumahan yang tidak begitu mewah.
Mahmud menghentikan langkahnya di suatu tempat yang biasa menjadi tempat berhenti para musafir. Masjid. Masjid memang tempat pemberhentian favorit setiap pelancong. Para pelancong biasa mengerjakan ibadah mereka, bisa tidur-tiduran atau bahkan sekedar numpang buang air di tempat ini.
Mahmud mencoba membuka pintu masjid tapi ternyata pintunya terkunci.
“bagaimana mungkin tempat ibadah ditutup seperti ini? Bagaimana caranya orang-orang untuk mendekatkan diri pada Tuhannya di malam hari?” dengus Mahmud kesal.
Ia pun termenung di teras masjid itu sambil memegangi kakinya yang mulai terasa pegal. Lama ia termenung hingga akhirnya ia tertidur.
***
Adzan shubuh berkumandang dengan indah. Bukan hanya di daerah itu saja. Adzan senantiasa berkumandang di bumi sepanjang waktu.
“dik.. bangun dik.. sudah saatnya sholat shubuh” suara seseorang membuat Mahmud terbangun dari mimpi buruknya. Ia bermimpi ayahnya berubah menjadi seekor naga yang membawanya terbang menuhju langit dan menghempaskannya bergitu saja.
Mahmud mengerjapkan mata dan membiarkannya untuk mengenali situasi sekitarnya. Ia melihat wajah laki-laki tua yang tersenyum indah di hadapannya.
“adik muslim kan? Mari berwudlu, kita shalat shubuh berjamaah.” Ajak laki-laki itu.
Mahmud bangkit dari pembaringannya dan mengikuti laki-laki itu menuju tempat wudlu. Ia tak tau kenapa ia bisa dengan mudah bangun untuk shalat saat itu. Di rumahnya, ia biasa bangun pukul 5.30 tanpa peduli akan shalat. Orang tuanya biasanya hanya bertanya “apakah kamu sudah shalat?” dan kadang Mahmud berbohong dengan menjawab pendek pertanyaan itu “sudah”. Tapi saat ini sangatlah berbeda, ia mengikuti lelaki itu berwudlu, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyyah shubuh dan berjamaah shalat shubuh. 
Selesai shalat shubuh, Mahmud kembali duduk di teras masjid, ia tak tau apa yang akan dia lakukan kini. Tanpa sadar ia pun menggumam.
“Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Bantu aku ya Allah..”
Gumaman yang ia lontarkan tanpa sadar itu ternyata didengar oleh laki-laki tua yang saat itu baru saja menyelesaikan tadarus qur’annya. Lantas laki-laki tua itu mendekati Mahmud dan menepuk pundaknya.
“asalmu dari mana dik?” tanya laki-laki tua itu. Mahmud tidak menjawab. Kemudian laki-laki tua itu melanjutkan ucapannya.“oh.. sepertinya adik ini tak punya tempat tinggal ya?”
Mahmud memandangi wajah laki-laki tua itu, yang dipandangi malah memandangi halaman masjid.
“namaku Rahmat, namamu siapa dik?” lanjut laki-laki tua itu.
“Mahmud pak.” Untuk pertama kalinya ia menjawab pertanyaan laki-laki tua itu.
“namamu bagus dik, kau tau apa arti namamu itu?” untuk ke sekian kalinya pak tua itu bertanya. Namun kali ini ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Mahmud artinya adalah yang terpuji, berarti orang tuamu berkehendak agar dirimu selalu dipuji, selalu memiliki sifat terpuji dan segala yang terpuji. Sungguh orang tuamu pasti sangat menyayangimu.”
Mahmud termenung mencoba meresapi setiap kata yang Pak Rahmat katakan. Tiba-tiba ia merasa sangat tidak layak diberi nama seindah itu. Tak disadari air mata mengalir dari sudut matanya. Ia tak tau, untuk apa air mata itu hadir, yang ia tau adalah ia tak mampu membendungnya. Melihat hal tersebut Pak Rahmat merasa amat kasihan kepada Mahmud.
“kau bisa tinggal di sini dik. Di masjid ini bila kau mau, kebetulan Aziz marbot masjid yang lama sebulan yang lalu pulang ke kampungnya mengurusi ibunya yang mulai sakit-sakitan.” Katanya. Seketika mata Mahmud berbinar. Setidaknya ada tempat baginya untuk berlindung dari panas dan hujan.
“Adik bisa adzan?” tanya Pak Rahmat lagi.
Mahmud menganggup mantap. Tentu ia bisa adzan, semua orang sekolahnya tau bahwa suara Mahmud sangat indah bila dipakai untuk adzan. Namun sayang ia tak pernah mau masuk Rohis. Ia anggap orang-orang yang masuk Rohis itu orang-orang sok suci yang hidupnya eksklusif.
“baiklah, adik boleh tinggal di sini. Dibelakang masjid ini ada kamar yang dulu dipakai oleh Aziz.” seru Pak Rahmat sembari tersenyum melihat wajah Mahmud yang sumringah.
***
Mahmud bejalan melintasi gang-gang sempit. Ia beberapa kali mengucapkan salam pada beberapa ibu-ibu yang ia kenali. Ia memang cukup dikenal di wilayah tempat kosnya. Selain ia termasuk orang yang supel, ia pun terbiasa dititipi anak-anak warga belajar mengaji. Kemudian tanpa sengaja ia melihat sebuah mobil yang tak asing baginya sedang terparkir di depan sebuah rumah makan. Ia kemudian bergegas menghampiri rumah makan tersebut. Matanya mencari-cari sesuatu. Dan akhirnya matanya bertemu dengan sosok laki-laki tua yang sangat ia sayangi. Pak Rahmat. Pak Rahmat belum juga menyadari keberadaan Mahmud. Ia masih asik bercengkrama dengan keluarganya. Seketika itu pula Mahmud terkenang pada masa-masa ketika ia bertugas menjadi marbot Masjid At-Taqwa.
***
Mahmud kini hidup sebagai marbot Masjid At-Taqwa. Pada mulanya ia merasa berat dengan tugasnya sebagai marbot. Ia harus membersihkan masjid, toilet, pekarangan dan seluruh sudut komplek Masjid At-Taqwa. Lelah memang, bahkan untuk seminggu pertama ia masih harus dibangunkan Pak Rahmat untuk shalat shubuh. Namun lama-kelamaan Mahmud mulai terbiasa, kini ia menikmati tugasnya sebagai marbot. Menjalani kehidupan di masjid Mahmud rasa sangat menyenangkan. Ia bisa mendengarkan ceramah-ceramah yang bermanfaat dan mengenali beberapa ustadz hingga bila ada yang tidak ia fahami bisa langsung ia tanyakan pada penceramah yang bersangkutan. Ia juga kini mulai aktif menggerakkan remaja untuk mencintai masjid.
Jangan tanya soal adzan, Mahmud tidak pernah absen untuk tugas yang satu itu, kecuali bila ada tokoh masyarakat yang ingin mengumandangkan panggilan ibadah itu. Seperti Pak Rahmat misalnya, Pak Rahmat biasa meminta jatah untuk mengumandangkan adzan pada beberapa kesempatan.
Pak Rahmat adalah sosok lelaki tua yang sangat Mahmud segani. Pak Rahmat Merupakan seorang pemilik sebuah perusahaan besar dalam bidang furniture di Negeri ini. Namun pimpinan perusahaan yang satu ini, kehidupannya jauh dari kemewahan. Pak Rahmat menjalani kehidupannya dengan kesederhanaan. Sangat sederhana bagi seorang pemilik perusahaan besar. Buktinya, ia lebih memilih hidup di perumahan yang tidak mewah ini. Pak Rahmat juga aktif di Dewan Keluarga Masjid dan di percaya sebagai seksi pengembangan infrastruktur. Ia tahu  penempatannya itu lebih untuk mempermudah pembiayaan pengembangan infrasturktur Masjid At-Taqwa. Namun ia tak pernah merasa terbebani oleh hal ini. Itu ia tunjukan dengan selalu menjalankan fungsinya dengan baik atau bahkan lebih baik. Ia tidak segan untuk membiayai kegiatan masjid secara penuh dari dompetnya sendiri. Termasuk untuk membiayai kehidupan Mahmud, Pak Rahmat tidak pernah mengambil dana dari uang masjid. Ia membiayai uang honor Mahmud dari uang sakunya sendiri.
Kehidupan sederhana Pak Rahmat tidak hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Pak Rahmat juga memberlakukan pola hidup sederhananya itu kepada keluarganya. Kadang Mahmud merasa iri pada kehidupan Pak Mahmud yang selalu terlihat bahagia.
“astaghfirullah.. kenapa aku iri pada kelebihan orang lain? Ampuni aku ya Rabb..” gumamnya bila suatu saat ia berpikiran seperti itu.
Proyek pembangunan masjid At-Taqwa sudah mendesak untuk dilakukan. Mengingat ruang Masjid belakangan ini selalu saja terasa padat pada sertiap shalat Maghrib. Setelah kedatangan Mahmud di masjid ini, memang kegiatan-kegiatan di masjid ini menjadi hidup. Apa lagi padi hari besar islam, tentu ruang masjid dirasa sangat kecil dan membutuhkan pemugaran.
“Mahmud, menurutmu apa mula-mula yang harus kita lakukan untuk proyek pembangunan masjid?” tanya Pak Rahmat suatu hari selepas shalat isya.
“menurut saya kita harus membuat disainnya dulu pak.” Jawab Mahmud.
“ah.. benar sekali kau, coba kau buatkan disain untuk masjid ini mud!! Haha..” seru Pak Rahmat “aku juga akan buat disain, nanti kita tentukan disain mana yang akan di pilih pada rapat bulanan DKM.” Lanjut Pak Rahmat.
“aku pulang Mud, jangan lupa kunci pintu masjid! Tapi ah.. kau memang tidak pernah mengunci pintu masjid selama kau menjadi marbot.” Ujar Pak Rahmat tersenyum. “assalaamualaikum” ucapnya mengakhiri obrolan.
“waalaikumus salaam.” Jawab Mahmud sambil mencium tangan Pak Rahmat.
Obrolan tersebut Pak Rahmat anggap sebagai basa-basi semata. Ia tak pernah benar-benar berharap Mahmud membuat disain masjid. Bagaimana mungkin anak jalanan seperti Mahmud mampu membuat rancangan bangunan. Pak Rahmat belum tahu siapa Mahmud. Ya, Pak Rahmat memang tidak pernah tau latar belakang Mahmud yang sebenarnya. Selain Pak Rahmat enggan untuk banyak bertanya, Mahmud sendiri pun tidak banyak bercerita tentang hidupnya.
***
“hei Mahmud, kemarilah nak! Ayo duduk di sini!” panggilan itu menyadarkan Mahmud dari lamunannya. Ia kemudian melangkah menuju kursi tempat laki-laki tua memanggilnya. Pak Rahmat.
Setelah mengucap salam yang dibalas oleh keluarga Pak Rudi, ia mulai menyalami satu per satu anggota keluarga Pak Mahmud yang sudah lama ia anggap sebagai anggota keluaraganya sendiri. Ia amat sangat senang berada diantara keluarga ini. Dan bila tidak ada aral melintang, beberapa saat lagi ia akan benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini.
“bagaimana kuliahmu nak?” tanya Pak Rahmat.
“alhamdulillah saya tinggal menyusun skripsi pak.” Jawab Mahmud.
“sykurlah kalau begitu.” Seru Pak Rahmat pendek.
“ngomong-ngomong, mengapa bapak ada di sini?” tanya Mahmud.
“lah.. kan bapak hendak mengantarmu pulang ke rumahmu.” Seru Pak rahmat. “bapak hendak minta maaf karena sudah membuatmu menjadi pekerja di Masjid At-Taqwa selama satu tahun. Selain itu, bapak juga kan perlu kenal dengan besan bapak nanti” lanjut Pak Rahmat mengoda.
Wajah Mahmud memerah karena malu, ia pun sekilas melihat perubahan warna pada muka Zaenab. Anak Pak Rahmat yang kini duduk di samping Pak Rahmat. Semalam memang Mahmud ditelepon oleh Pak Rahmat yang secara tidak formal melamar dirinya untuk mempersunting anak perempuan Pak Rahmat. Namun Mahmud masih ragu, apa Pak Rahmat betul-betul mempersunting dirinya atau hanya sekedar guarauan.
Yang ia sadari, malam tadi ia telah membuka semua kisah masa lalunya pada Pak Rahmat yang menyarankan agar dirinya segera pulang ke rumah untuk meminta maaf pada kedua orang tuanya. Selama empat tahun ini ia memang tak pernah tahu kabar keluarganya, yang ia tahu mereka masih berada di desa yang sama. Itu ia tau dari mahasiswa yang kebetulan mengenal Mahmud. Sungguh suatu keajaiban bagi Mahmud bahwa ia bisa melanjutkan kuliah tanpa biaya dari orang tuannya.
***
Rapat DKM pun dimulai, Pak Rahmat menunjukkan disain yang telah ia buat dalam rapat. Berberapa peserta rapat merasa puas dan yang lain tidak.
“baiklah kalau begitu, nanti saya coba lagi untuk mendisain ulang rencana masjid yang akan dibangun.” Kata Pak Rahmat tersenyum kepada para peserta rapat.
Sekonyong-konyong Mahmud mengangkat tangan. Pak Sholeh sebagi ketua DKM mempersilahkan Mahmud untuk bicara.
“bapak-bapak yang saya hormati, saya telah membuat disain masjid yang saya kira pas untuk dibangun dan dipakai kelak.” Seru Mahmud mantap. Peserta rapat terkejut, kemudian Mahmud memperlihatkan disain yang telah ia buat.
Disain yang ia buat sangatlah bagus dan ditail. Dengan skala 1:100 ia membuat denah dan ilustrasi masjid dengan gambar yang bagus. Dalam denah, ia juga menyediakan ruang perpustakaan, ruangan pertemuan dan ruang pengajian anak-anak serta ibu-ibu majelis ta’lim.
Semua orang kagum dengan disain yang Mahmud bawa. Kemudian Pak Rahmat bertanya keheranan “siapa yang membuat disain itu Mahmud?”
“saya sendiri pak.” Jawab Mahmud lancar.
Peserta rapat pun akhirny setuju untuk memilih disain yang dibuat Mahmud. Lalu dibentuklah kepanitiaan Pemugaran Masjid At-Taqwa.
Setelah rapat selesai, Mahmud mulai membereskan ruang utama masjid yang dipakai rapat. Ketika itu, Pak Rahmat menghampiri Mahmud.
“apa kau hendak bercerita pada bapak tentang masa lalumu Mud?” tanya Pak Rahmat. Yang ditanya hanya diam. “ah.. sudahlah memang masa lalu itu kadang terasa menyakitkan.” Pak rahmat diam sejenak kemudian melanjutkan ucapannya. “kamu anak yang pintar Mahmud, ijazah pa yang kau miliki?” tanya Pak Rahmat.
“tak ada pak, saya tidak punya ijazah” jawab Mahmud tertunduk.
“sayang sekali” ucap Pak Rahmat. “sudahlah, cepat tidur Mud! Assalamualaikum.” 
“alaikumus salaam” jawab Mahmud
***
Hari pun berlalu, Pak Rahmat akhirnya menyuruh Mahmud untuk mengikuti ujian persamaan SMA dengan ijazah SMP yang Mahmud tidak tau bagaimana Pak Rahmat mendapatkannya.
Mahmud pun mengikuti ujian dan akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Selanjutnya Pak Rudi mengurusi keperluan Mahmud untuk kuliah di kota kembang, mengambil jurusan Teknik Sipil. Mahmud sempat kebingungan bagaimana ia membeli perlengkapan kuliah. Setelah mencari-cari uang yang mungkin terselip dalam pakaiannya. Ia menemukan uang sejumlah lima juta rupiah di kantong celana yang dipakai dulu, ketika ia pergi dari rumah. Itu uang pemberian ibunya. Ia tak pernah menyadari keberadaan uang itu karena ia tak pernah lagi memakai barang yang ia bawa dari rumahnya meski itu hanya pakaian. Ia lebih senang memakai pakaian yang diberikan Pak Rahmat dan bekas marbot terdahulu.
Singkat cerita, Mahmud memulai berkuliah di kota kembang. Ia mencari tempat kos yang pas bagi kantongnya. Dengan bekal uang lima juta pemberian ibunya ia memulai segalanya dengan baik. Ia tidak perlu memikirkan uang semesteran karena Pak Rahmat telah berbaik hati siap menganggungnya. Namun untuk uang jajan dan lainnya Mahmud harus berusaha mencarinya sendiri. Ia mulai membuka privat mengajar apapun yang ia bisa ajarkan. Ia mencari peluang beasiswa di manapun yang ia dapat. Ia selalu berusaha untuk bisa menghidupi dirinya sendiri meski tanpa menolak pemberian dari Pak Rahmat.
Kini telah 3 tahun ia kuliah, telah banyak prestasi yang ia dapatkan. Dengan izin Allah beberapa bulan lagi ia akan menjadi Sarjana Teknik. Kabar baik lainnya, kemarin malam ia telah dipinang oleh Pak Rahmat untuk menjadi menantunya.
Alangkah besar karunia yang Mahmud rasakan. Hari ini, ia akan pulang ke rumah bersama calon mertua dan istrinya. Ia akan meminta maaf pada ayah dan ibunya dan meminta restu untuk perkawinannya.
Mahmud merasa bangga. Ia terharu dengan apa yang telah Allah beri padanya. Dan tanpa ia sadari, lagi-lagi bening air menetes dari ujung matanya.
Bandung, 2012
Adam Keturunan Adam



Komentar

Postingan Populer