Bahagia dan Derita
(Adam Rahmat Fauzan)
Hidup ini
sangatlah indah, selalu indah dan bahagia. Setidaknya itulah yang selalu
dirasakan oleh Faris. Anak tunggal pemilik perkebunan kelapa sawit yang kini
meneruskan bisnis ayahnya. Kini perkebunan rintisan kakeknya
itu telah meluas hingga mencapai satu per sepuluh luas sebuah pulau di sebelah
barat Negeri ini. Manusia memang selalu tidak merasa puas, dengan kekayaan yang telah
ia miliki, Faris masih saja ingin mengembangkan bisnisnya. Laki-laki yang masih
berusia belia ini pun ikut berinvestasi pada sebuah perusahaan asing yang
menjalankan usaha di bidang pertambangan emas.
Faris hidup
dalam gelimangan materi. Dengan kekayaan yang ia miliki, bila tidak karena
sesuatu yang berada di luar nalar manusia, ia tidak akan mungkin jatuh menjadi
miskin. Kehidupan pribadinya pun terasa amat bahagia. Pada usianya yang ke-27,
ia menikahi seorang gadis pujaan hatinya semasa kuliah. Suci, gadis cantik yang
pasti menjadi idaman siapapun yang melihatnya. Saat menikah, Suci saat itu
masih berusia 22 tahun. Ia pun makin bahagia setelah menanti selama 4 tahun, Suci
akhirnya mengandung seorang bayi yang kelak akan menjadi anaknya.
Hidup rupanya
tidak akan lebih bahagia lagi bagi Faris. Semua kebahagian telah nyata baginya.
Dari kecil hingga kini ia memang tidak pernah mengalami penderitaan. Hidupnya
terasa sangat sempurna tanpa cacat. Hingga pada suatu saat
ia merasakan sakit yang
luar biasa pada bagian bawah perutnya. Ia memang biasa mengalami hal tersebut,
namun karena berulang kali terjadi akhirnya ia memutuskan untuk memeriksakan
diri pada sebuah Rumah Sakit Internasional yang ada di kota ini tanpa
sepengetahuan istrinya. Ini ia lakukan agar istrinya tidak merasa khawatir
terhadap apa yang ia alami.
Pada hari
pemeriksaan, Faris hanya diambil darah dan urinnya untuk dicek di labolatorium.
Seminggu berselang, Rumah Sakit merujuk Faris untuk diperiksa lebih lanjut oleh
Dokter Supriadi. Seorang dokter yang membidangi sexiologi. Faris pun
berkonsultasi tentang keluhannya. Setelah melihat hasil tes darah dan urin yang
Faris perlihatkan, Dokter Supriadi pun menghela napas dan berkata.
“Kita belum bisa
memastikan apa yang Bapak Faris ini alami. Namun gejala yang bapak alami ini
mengindikasikan suatu kelainan. Dan untuk memastikannya kita harus melakukan
tes berikutnya.”
Mata dokter itu
menatap Faris tajam. Faris pun mulai merasa ada yang tidak beres dengan hal
ini. “Mengapa ia dirujuk ke dokter spesialis sexiologi?” pikirnya dalam hati.
“kita perlu
sample sperma bapak untuk mengetahui pasti kelainan yang bapak alami.” Kata
Dokter Supriadi meneruskan kalimatnya.
“Sperma dok?
Kenapa harus sperma?” tanya Faris kebingungan.
“Karena kelainan
yang bapak alami itu harus kita pastikan tidak ada sangkut pautnya dengan
sperma bapak.” Jelas Dokter Supriadi.
Hari itupun sample sperma Faris dibawa oleh Dokter
Supriadi untuk di teliti di labolatorium. Faris pun pulang ke rumahnya.
Seminggu
kemudian, Faris kembali ke Rumah Sakit setelah menghubungi Dokter Supriadi
terlebih dahulu untuk mengetahui hasil tes spermanya. Begitu sampai di Rumah
Sakit, Faris langsung menuju ruangan Dokter Supriadi dan berjabatan tangan saat
bertemu dengannya.
“Bagaimana
hasilnya dok?” Tanya Faris penasaran.
“Sepertinya anda
butuh perawatan serius tuan!” Jawab Dokter Supriadi.
“Memangnya,
kelainan apa yang saya alami dokter?” Tanya Faris lagi.
“Cukup rumit tuan,
namun penjelasan sederhananya, sperma tuan diserang oleh sistem kekebalan tubuh
tuan sendiri. Hal ini menyebabkan sperma tuan tidak akan bisa membuahi ovum.”
Jelas Dokter Supriadi. Air muka Faris pun terlihat pucat mendengar diagnosa
yang disampaikan dokter. Ia sungguh sangat tidak percaya dengan apa yang ia
dengar.
“Sejak kapan ini
terjadi dok?” Tanya Faris kemudian.
“Saya tidak tahu
pasti tuan, tapi sepertinya ini terjadi sejak tuan mulai sering merasakan sakit
di bagian bawah perut tuan.” Jawab Dokter Supriadi. “Kita perlu untuk melakukan
perawatan yang intens untuk bisa menyembuhkan tuan.” Lanjutnya.
Mendengar
jawaban dokter, seketika Faris merasa sesak. Ia merasa sangat terpukul. Bukan
karena perawatan yang menanti dengan bejuta atau bahkan berpuluh juta biaya
yang akan ia keluarkan. Namun terpukul dengan kalimat pertama dokter yang
menyebutkan kelainan yang ia alami terjadi sejak ia mulai merasa sakit di
bagian bawah perut. Ia sungguh kaget. Ia mulai merasa sakit di bagian bawah
perutnya sejak ia kuliah hingga sekarang.
“Bila saya
mandul, lantas kenapa Suci bisa hamil?” Tanyanya dalam hati.
Iapun menyalami
dokter untuk pulang. Ia masih belum yakin dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Untuk meyakinkan hatinya, ia memeriksakan diri di Rumah Sakit lain. Ia masih
berharap bahwa apa yang dikatakan Dokter Supriadi adalah sebuah kekeliruan.
Namun setelah memeriksakan diri di beberapa Rumah Sakit lain, ia pun akhirnya
harus menerima kenyataan yang pahit. Selama ini ia memang mandul hingga tak
mungkin punya anak.
“Lalu anak siapa
yang ada dalam kandungan Suci?” Beribu kali tanya itu hadir dalam setiap detik
yang Faris lalui.
Hidup Faris yang
penuh kebahagiaan pun seketika hilang oleh kesedihan dan kemarahan. Iya tak
tahu apa yang harus ia lakukan kini, terlebih kepada Suci istri yang ia
sayangi. Selama ini segala kebutuhan Suci memang selalu tercukupi, bahkan
berlebih. Perempuan yang ia nikahi tersebut penuh dengan gelimang harta. Semua
Faris lakukan karena cintanya pada Suci. Tapi mengapa cintanya harus terkhianati?
Ia tahu, empat tahun untuk menunggu kehamilan sangatlah tidak wajar. Namun ia
tidak pernah merasa ia mandul, istrinya pun demikian. Faris terlalu sibuk
dengan segala bisnisnya untuk memikirkan hal itu. Saking sibuknya, ia sering
kali meninggalkan istrinya beberapa minggu mengurusi negosiasi bisnisnya ke
luar negeri. Dan kini ia sadari, itu adalah suatu kesalahan yang besar.
***
Sore itu Faris
berjalan-jalan di sebuah taman yang ada di perumahan yang ia huni. Kabar
mengejutkan yang ia dapat dari Dokter Supriadi benar-benar telah membuat
hidupnya menderita. Ia tidak pernah mengatakan apa-apa bila pulang ke rumah. Ia
tetap tersenyum pada istrinya. Meski itu adalah senyum derita. Faris merasa
hidup ini palsu, hidup ini derita. Sia-sia segala upaya yang ia lakukan untuk
bahagia. “Kenapa hidup seperti ini? tidak adil! Aku tidak pernah sengaja
melakukan satu hal pun yang salah. Mengapa aku harus menderita?” Batin Faris
selalu bertanya-tanya.
Ia pun duduk di
bangku taman dan memandangi sekelilingnya hingga matanya tertuju pada seorang
kakek tua penjual bubur kacang yang sedang berjualan di tepi jalan. Pak Hamid,
itulah nama kakek tua itu. Pak Hamid meski sudah tua, wajahnya masih nampak
berseri-seri. Faris memang sering melihat Pak Hamid berjualan di perumahan tiap
pagi dan sore hari. Menurut kabar burung yang ia terima, Pak Hamid kini hidup
berdua dengan seorang anaknya setelah ia ditinggal mati oleh istri dan kedua
anaknya yang lain dalam sebuah kebakaran sepuluh tahun yang lalu. Hidup Pak
Hamid memang malang, tidak hanya harta yang hangus terbakar, tapi semua
kebahagiaannya dalam berkeluarga pun ikut hangus dilahap api. Yang selamat
hanya ia dan seorang anaknya yang masih bayi. Kini ia hidup berdua dengan
anaknya. Ia pun mulai berjualan bubur kacang untuk terus bertahan hidup dan
menghidupi kebutuhan anaknya yang kini berusia sebelas tahun.
Sore itu entah
mengapa Faris ingin sekali menghampiri kakek tua tersebut. Ia ingin tahu,
mengapa kakek tersebut masih terlihat bahagia ditengah derita yang ia alami
selama ini. Faris pun melangkahkan kakinya mendekati sang kakek.
“Bubur kacangnya
satu porsi ya kek.” Seru Faris.
“Eh Pak Faris,
siap pak!” Seru Pak Hamid. “Apa kabar pak?” Tanya Pak Hamid.
“Baik.” Jawab
Faris berbohong. “Bagaimana dagangannya pak?” Sambung Faris.
“Beginilah pak,
pembeli makin berkurang!” Jawab Pak Hamid sambil memberikan satu porsi bubur
kacang pesanan Faris.
“Ko bisa pak?
Bubur kacang buatan bapak kan enak.” Kata Faris.
“Yah, sepertinya
para pembeli takut bubur kacang berformalin dan pemanis buatan seperti yang di
tivi-tivi pak.” Terang Pak Hamid tersenyum.
Memang,
belakangan ini pemberitaan di televisi selalu membahas makanan berformalin. Dan
disadari atau tidak rupanya pemberitaan tersebut memang berdampak bagi para
penjual makanan, baik yang curang atau pun yang jujur seperti Pak Mahmud ini.
“Jadi bagaimana
dengan pendapatan bapak?” tanya Faris.
“Alhamdulillah
masih cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari pak. Cukup lah untuk bayar
kontrakan dan sekolahnya si Karim. Kalaupun tak cukup, paling kita cari
pinjaman pak.” Jawab Pak Hamid sambil tersenyum.
“Saya iri pada
bapak, bapak terlihat selalu bahagia meski hidup bapak begitu adanya. Boleh
saya minta nasehat dari bapak?” Tanya Faris.
Pak Hamid
memandangi Faris sejenak. Ia pun tersenyum dan akhirnya menjawab.
“Bahagia atau
pun tidak, di dunia ini tu sama saja pak. Semua itu semu.” Kata Pak Hamid.
Faris mencoba mencerna apa yang Pak Hamid katakan.
“Dalam hidup ini
kita tidak bisa mengharapkan kebahagiaan selamanya. Dalam hidup pasti ada duka.
Tapi duka dan derita pun tidak selamanya. Bahagia dan derita senantiasa datang
dan pergi dalam kehidupan. Bila kita siap untuk bahagia, kita pun harus siap
hidup sengsara.” Kata Pak Hamid. “Bapak lihat pemulung yang sedang berjalan di
pinggir jalan itu.” Pak Hamid menunjuk pemulung yang sedang mengorek tempat
sampah di pinggir jalan. Faris mengangguk.
“Ia terlihat
sengsara bukan? Hidupnya terlihat tidak bahagia bukan?” Tanya Pak Hamid. Faris
kembali mengangguk. “Tapi saya yakin pak, sesengsara apapun seseorang, ia pasti
punya saat-saat bahagia. Itu sudah menjadi hukum tak tertulis di dunia ini
pak.” Kata Pak Hamid,
“Saya juga yakin
orang seperti bapak yang banyak uang juga pasti pernah memiliki kesengsaraan.”
Lanjut Pak Hamid. Faris terdiam. “Maaf pak, tapi memang harus begitu. Karena
dunia ini tempat sesuatu tidak kekal. Termasuk bahagia dan duka juga tidak
kekal. Dan kita harus menerima itu. Bila bapak pikir saya tidak sedih, tidak
menderita, maka bapak salah total. Saya juga hidup di dunia yang tak kekal pak.
Hanya saja saya memilih untuk terlihat bahagia.” Seru Pak Hamid.
Faris termenung,
ia baru saja mendapatkan pelajaran yang berharga dari seorang kakek tua.
Alangkah egoisnya dirinya bila ia selalu inginkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Hidup ini butuh juga penderitaan dan kesakitan karena hidup ini tidak kekal.
Itulah yang ia pelajari dari Pak Hamid.
“Terima kasih
pak, kini saya sadar bahwa bahagia dan derita tidak kekal di dunia ini. Kekal
hanya ada di akhirat. Bukan begitu pak?” Kata Faris menyimpulkan. Pak Hamid
tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Ini uang untuk
bubur kacangnya pak.” Kata Faris sambil memberikan uang kertas berwarna biru.
“kembaliannya ambil saja.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Terima kasih
pak.” Kata Pak Hamid sumringah.
Faris pun
berjalan pulang dengan sedikit beban yang berkurang. Kini ia tahu bagaimana ia
harus menyikapi apa yang ia alami saat ini.
Bandung, 2012
Adam Keturunan Adam
Komentar
Posting Komentar