Hidup Dalam Untaian Hikmah
oleh:
(Adam Rahmat Fauzan)
Pagi
itu udara terasa amat dingin menusuk kulit, ketika Mahmud anak seorang Kepala Desa
yang kini sedang melanjutkan kuliah di kota kembang telah siap di depan
kosannya. Mahmud terlihat amat bersemangat menyambut hari ini. Dengan
mengenakan batik yang selalu ia banggakan, ia terlihat sangat rapi dengan
rambut potongan pendek, celana hitam, sepatu kulit dan tas kuliah yang ia
gendong. Mahmud mulai berkuliah di Kota ini sejak tahun 2009 lalu, ia kuliah di
sebuah Universitas Negeri yang berada di sebelah Utara kota ini. Ia pun mulai
melangkahkan kakinya menutup pagar kosan yang telah ditempatinya sejak 3 tahun
yang lalu ini. Dalam benaknya ia masih ingat hari pertama ia menginjakkan kaki
di kosan sederhana ini, bayangan akan hidup yang getir pun mulai muncul
kembali.
Semasa duduk di
bangku SMA Mahmud merupakan anak yang pintar. Pintar dalam segala hal, baik itu
yang berhubungan dengan akademik maupun ekstrakurikuler. Namun
tidak hanya
tentang hal yang positif saja, Mahmud pun ternyata pintar dalam hal-hal
negatif. Ia juga terkenal pintar dalam menipu. Ya, dia memang sangat pintar
menipu. Dengan wajah yang polos dan terlihat baik itu ditambah dengan predikat
yang telah ia dapat yaitu predikat Juara Umum di sekolahnya, tidak satu pun
guru dan penduduk desa tau akan kenakalannya. Sepandai pandai tupai meloncat
pasti ia akan jatuh juga. Itulah pribahasa yang mampu menggambarkan kemalangan
Mahmud. Saat ia harus diusir dari rumahnya.
Masih hangat dalam
ingatannya ketika pada suatu malam ia tertangkap basah oleh penduduk desa sedang
berpesta minuman keras bersama kedua temannya Anto dan Rudi. Bukan hanya itu,
ia pun terkena fitnah telah mencuri ayam salah satu penduduk desa sampai-sampai
ia dan kedua temannya dipukuli hingga babak belur. Memang, diantara mereka Rudi
lah yang telah mencuri ayam warga, tapi Mahmud dan Anto tidak ambil peran dalam
hal ini.
“bak..buk...bak..buk..
pukul..!! hajar bangsat-bangsat ini...!!” saat itu teriakan-teriakan semacam
itu bertubi-tubi diterima dan terasa pedih bagi telinga Mahmud dan kawan-kasdwannya.
Malam itu menjadi
malam terakhir bagi Mahmud menghirup udara desanya. Setelah ia diarak warga, ia
pun akan dihadapkan pada ayahnya yang tidak lain merupakan Kepala Desa saat
itu. Dalam keadaan teler dan babak belur Mahmud pun dibawa ke rumahnya. Beruntung
bagi Mahmud, meski hanya untuk beberapa saat, ayahnya tidak sedang berada di
rumah karena sedang mengikuti rapat di Kecamatan. Ia pun kemudian ditidurkan
oleh ibunnya dikamar yang bila ia tau akan ia tinggalkan malam ini juga. Dengan
kasih sayang ibunya merawat Mahmud dan mengobati luka-luka pukulan warga yang
geram.
“kenapa jadi begini
nak...??” seru ibu lirih dengan berurai air mata.
Tengah malam pun
tiba, tidak seperti yang dirasakan oleh kebanyakan penduduk desa, suasa hening
yang melelapkan setiap orang dalam mimpinya masing-masing saat ini tidak lah
berlaku di kediaman Kepala Desa. Di kediaman kepala desa saat ini sedang
terjadi keributan.
Malam itu kepala desa
pulang dari Kecamatan dengan menyunggingkan senyum dibibirnya. Ia tidak sabar bertemu
dengan Mahmud anaknya untuk mengabarkan kabar gembira hasil rapat kecamatan
yang akan memberikan beasiswa untuk pemuda desa yang berprestasi. Dan yang
terpilih dalam rapat itu adalah Mahmud anaknya. Namun ketika sampai di gerbang
rumah dinasnya, ia terheran-heran dengan banyaknya warga yang berkumpul di
depan rumahnya. Setelah ia mendengar laporan dari warga, serta merta senyum
yang dibawanya dari kantor kecamatan pun sirna dan berubah menjadi murka.
Dengan murkanya ia masuk ke kamar tempat Mahmud beristirahat dengan
berteriak-teriak. Sang Kepala Desa merasa kecewa dan terkhianati oleh anak
tunggal yang sangat disayanginya ini. Mahmud hanya bisa terdiam, sedari tadi
memang dia belum juga tertidur. Ia berusaha mencari alasan yang tepat untuk
membela diri bila tiba saatnya dia untuk dimarahi ayahnya. Tapi sia-sia sedaya
usahanya tersebut. Karena tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk
membela diri dari kata-kata yang mengamuk dari mulut ayahnya. Dan tanpa ia
perhitungkan entah dengan sadar ataupun tidak ayahnya mengeluarkan kata-kata
pengusiran.
“pergi kau dari rumah
ini! Mulai saat ini kau bukan lagi anakku. Jangan pernah kau coba menginjakkan
kakimu di rumah ini!” teriak ayahnya.
Saat itu dunia terasa
terhenti, seluruh benda yang ada di hadapannya terasa menciut, suara-suara
gaduh pengiring malam pun sedikit demi sedikit menghilang dari pendengarannya.
Hingga tarikan tangan ayahnya menyadarkannya dari semua itu. Ia digusur ayahnya
dan dihempaskan ke teras rumah. Meski ibunya sedari tadi menahan kehendak
ayahnya, namun itu sia-sia saja. Ayahnya sudah dikuasai amarah dan tidak
berniat untuk sedikitpun menarik kembali ucapannya. Pintu rumah pun kini telah
tertutup dengan gebrakan yang menusuk hati Mahmud. Saat itu Mahmud baru sadar
bahwa apa yang ia lakukan dan yang tidak ia lakukan telah membawanya pada
bencana. Dengan gontai dan kebingungan ia pun melangkah menjauh dari rumah. Ia
tak tau akan pergi ke mana malam itu. Tampa uang, tanpa pakaian tanpa semangat
dan harapan. Ia pun tak sadar pintu rumah
kembali terbuka. Ibunya berlari mengejar, memanggil namanya dan memeluknya
erat.
“ibu akan selalu mendoakanmu nak..” seru ibu lirih sembari menyodorkan uang yang Mahmud terima tanpa kata. Yang belakangan ini ia sadari tentu kata “terima kasih” akan sangat berarti ketika itu.
“ibu akan selalu mendoakanmu nak..” seru ibu lirih sembari menyodorkan uang yang Mahmud terima tanpa kata. Yang belakangan ini ia sadari tentu kata “terima kasih” akan sangat berarti ketika itu.
***
Hari ini terik
mentari terasa menusuk kulit, namun panas itu tidaklah dirasa oleh Mahmud. Saat
ini perasaan Mahmud sedang tidak menentu. Antara senang dan takut, ia berjalan
menuju halte bus. Ditengah jalan, ia melewati sebuah masjid. Masjid tempat ia
biasa mengisi pengajian remaja dan anak-anak. Masjid itu masih tampak seperti
biasa, namun ada sesuatu yang terlintas di pikiran Mahmud saat ini. Melihat
masjid tersebut matanya mulai menerawang ke suatu tempat yang penuh kenangan. Tempat
yang membawa perubahan pada hidupnya.
“semua memang atas
izin Allah.. terima kasih ya Allah..”. gumamnya dalam hati.
***
Malam itu ia berjalan
tak tentu arah, ia tak punya saudara disekitar desa. Ia pun tak mungkin minta
bantuan teman-temannya. “Mana bisa keluarga teman-temannya menerima dirinya
yang dianggap pencuri”. Pikirnya dalam hati. Tak terasa telah jauh ia berjalan.
Entah telah berapa lama ia melangkahkan kakinya. Kakinya memang lelah, tapi
hatinya jauh lebih lelah saat ini. Berjuta rasa bergelayut dalam hatinya.
Sedih, sesal dan amarah membuat ia merasa lelah. Bukan hanya lelah tuk
berjalan, tetapi juga kelelahan untuk sekedar bernapas. Ia pun mulai memasuki
daerah perumahan yang tidak begitu mewah.
Mahmud menghentikan
langkahnya di suatu tempat yang biasa menjadi tempat berhenti para musafir.
Masjid. Masjid memang tempat pemberhentian favorit setiap pelancong. Para
pelancong biasa mengerjakan ibadah mereka, bisa tidur-tiduran atau bahkan
sekedar numpang buang air di tempat ini.
Mahmud mencoba
membuka pintu masjid tapi ternyata pintunya terkunci.
“bagaimana mungkin
tempat ibadah ditutup seperti ini? Bagaimana caranya orang-orang untuk
mendekatkan diri pada Tuhannya di malam hari?” dengus Mahmud kesal.
Ia pun termenung di
teras masjid itu sambil memegangi kakinya yang mulai terasa pegal. Lama ia
termenung hingga akhirnya ia tertidur.
***
Adzan shubuh
berkumandang dengan indah. Bukan hanya di daerah itu saja. Adzan senantiasa
berkumandang di bumi sepanjang waktu.
“dik.. bangun dik..
sudah saatnya sholat shubuh” suara seseorang membuat Mahmud terbangun dari
mimpi buruknya. Ia bermimpi ayahnya berubah menjadi seekor naga yang membawanya
terbang menuhju langit dan menghempaskannya bergitu saja.
Mahmud mengerjapkan mata
dan membiarkannya untuk mengenali situasi sekitarnya. Ia melihat wajah
laki-laki tua yang tersenyum indah di hadapannya.
“adik muslim kan?
Mari berwudlu, kita shalat shubuh berjamaah.” Ajak laki-laki itu.
Mahmud bangkit dari pembaringannya dan mengikuti laki-laki itu menuju tempat wudlu. Ia tak tau kenapa ia bisa dengan mudah bangun untuk shalat saat itu. Di rumahnya, ia biasa bangun pukul 5.30 tanpa peduli akan shalat. Orang tuanya biasanya hanya bertanya “apakah kamu sudah shalat?” dan kadang Mahmud berbohong dengan menjawab pendek pertanyaan itu “sudah”. Tapi saat ini sangatlah berbeda, ia mengikuti lelaki itu berwudlu, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyyah shubuh dan berjamaah shalat shubuh.
Mahmud bangkit dari pembaringannya dan mengikuti laki-laki itu menuju tempat wudlu. Ia tak tau kenapa ia bisa dengan mudah bangun untuk shalat saat itu. Di rumahnya, ia biasa bangun pukul 5.30 tanpa peduli akan shalat. Orang tuanya biasanya hanya bertanya “apakah kamu sudah shalat?” dan kadang Mahmud berbohong dengan menjawab pendek pertanyaan itu “sudah”. Tapi saat ini sangatlah berbeda, ia mengikuti lelaki itu berwudlu, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyyah shubuh dan berjamaah shalat shubuh.
Selesai shalat shubuh,
Mahmud kembali duduk di teras masjid, ia tak tau apa yang akan dia lakukan
kini. Tanpa sadar ia pun menggumam.
“Ya Allah.. apa yang
harus aku lakukan? Bantu aku ya Allah..”
Gumaman yang ia
lontarkan tanpa sadar itu ternyata didengar oleh laki-laki tua yang saat itu
baru saja menyelesaikan tadarus qur’annya. Lantas laki-laki tua itu mendekati
Mahmud dan menepuk pundaknya.
“asalmu dari mana
dik?” tanya laki-laki tua itu. Mahmud tidak menjawab. Kemudian laki-laki tua
itu melanjutkan ucapannya.“oh.. sepertinya adik ini tak punya tempat tinggal
ya?”
Mahmud memandangi
wajah laki-laki tua itu, yang dipandangi malah memandangi halaman masjid.
“namaku Rahmat,
namamu siapa dik?” lanjut laki-laki tua itu.
“Mahmud pak.” Untuk
pertama kalinya ia menjawab pertanyaan laki-laki tua itu.
“namamu bagus dik,
kau tau apa arti namamu itu?” untuk ke sekian kalinya pak tua itu bertanya.
Namun kali ini ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Mahmud artinya adalah yang
terpuji, berarti orang tuamu berkehendak agar dirimu selalu dipuji, selalu
memiliki sifat terpuji dan segala yang terpuji. Sungguh orang tuamu pasti
sangat menyayangimu.”
Mahmud termenung
mencoba meresapi setiap kata yang Pak Rahmat katakan. Tiba-tiba ia merasa
sangat tidak layak diberi nama seindah itu. Tak disadari air mata mengalir dari
sudut matanya. Ia tak tau, untuk apa air mata itu hadir, yang ia tau adalah ia
tak mampu membendungnya. Melihat hal tersebut Pak Rahmat merasa amat kasihan
kepada Mahmud.
“kau
bisa tinggal di sini dik. Di masjid ini bila kau mau, kebetulan Aziz marbot
masjid yang lama sebulan yang lalu pulang ke kampungnya mengurusi ibunya yang
mulai sakit-sakitan.” Katanya. Seketika mata Mahmud berbinar. Setidaknya ada tempat
baginya untuk berlindung dari panas dan hujan.
“Adik
bisa adzan?” tanya Pak Rahmat lagi.
Mahmud
menganggup mantap. Tentu ia bisa adzan, semua orang sekolahnya tau bahwa suara
Mahmud sangat indah bila dipakai untuk adzan. Namun sayang ia tak pernah mau
masuk Rohis. Ia anggap orang-orang yang masuk Rohis itu orang-orang sok suci yang
hidupnya eksklusif.
“baiklah,
adik boleh tinggal di sini. Dibelakang masjid ini ada kamar yang dulu dipakai
oleh Aziz.” seru Pak Rahmat sembari tersenyum melihat wajah Mahmud yang
sumringah.
***
Mahmud
bejalan melintasi gang-gang sempit. Ia beberapa kali mengucapkan salam pada
beberapa ibu-ibu yang ia kenali. Ia memang cukup dikenal di wilayah tempat
kosnya. Selain ia termasuk orang yang supel, ia pun terbiasa dititipi anak-anak
warga belajar mengaji. Kemudian tanpa sengaja ia melihat sebuah mobil yang tak
asing baginya sedang terparkir di depan sebuah rumah makan. Ia kemudian
bergegas menghampiri rumah makan tersebut. Matanya mencari-cari sesuatu. Dan
akhirnya matanya bertemu dengan sosok laki-laki tua yang sangat ia sayangi. Pak
Rahmat. Pak Rahmat belum juga menyadari keberadaan Mahmud. Ia masih asik
bercengkrama dengan keluarganya. Seketika itu pula Mahmud terkenang pada
masa-masa ketika ia bertugas menjadi marbot Masjid At-Taqwa.
***
Mahmud
kini hidup sebagai marbot Masjid At-Taqwa. Pada mulanya ia merasa berat dengan
tugasnya sebagai marbot. Ia harus membersihkan masjid, toilet, pekarangan dan
seluruh sudut komplek Masjid At-Taqwa. Lelah memang, bahkan untuk seminggu
pertama ia masih harus dibangunkan Pak Rahmat untuk shalat shubuh. Namun
lama-kelamaan Mahmud mulai terbiasa, kini ia menikmati tugasnya sebagai marbot.
Menjalani kehidupan di masjid Mahmud rasa sangat menyenangkan. Ia bisa
mendengarkan ceramah-ceramah yang bermanfaat dan mengenali beberapa ustadz
hingga bila ada yang tidak ia fahami bisa langsung ia tanyakan pada penceramah
yang bersangkutan. Ia juga kini mulai aktif menggerakkan remaja untuk mencintai
masjid.
Jangan
tanya soal adzan, Mahmud tidak pernah absen untuk tugas yang satu itu, kecuali
bila ada tokoh masyarakat yang ingin mengumandangkan panggilan ibadah itu.
Seperti Pak Rahmat misalnya, Pak Rahmat biasa meminta jatah untuk
mengumandangkan adzan pada beberapa kesempatan.
Pak
Rahmat adalah sosok lelaki tua yang sangat Mahmud segani. Pak Rahmat Merupakan
seorang pemilik sebuah perusahaan besar dalam bidang furniture di Negeri ini. Namun pimpinan perusahaan yang satu ini,
kehidupannya jauh dari kemewahan. Pak Rahmat menjalani kehidupannya dengan
kesederhanaan. Sangat sederhana bagi seorang pemilik perusahaan besar.
Buktinya, ia lebih memilih hidup di perumahan yang tidak mewah ini. Pak Rahmat
juga aktif di Dewan Keluarga Masjid dan di percaya sebagai seksi pengembangan
infrastruktur. Ia tahu penempatannya itu
lebih untuk mempermudah pembiayaan pengembangan infrasturktur Masjid At-Taqwa.
Namun ia tak pernah merasa terbebani oleh hal ini. Itu ia tunjukan dengan
selalu menjalankan fungsinya dengan baik atau bahkan lebih baik. Ia tidak segan
untuk membiayai kegiatan masjid secara penuh dari dompetnya sendiri. Termasuk
untuk membiayai kehidupan Mahmud, Pak Rahmat tidak pernah mengambil dana dari
uang masjid. Ia membiayai uang honor Mahmud dari uang sakunya sendiri.
Kehidupan
sederhana Pak Rahmat tidak hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Pak Rahmat juga
memberlakukan pola hidup sederhananya itu kepada keluarganya. Kadang Mahmud
merasa iri pada kehidupan Pak Mahmud yang selalu terlihat bahagia.
“astaghfirullah..
kenapa aku iri pada kelebihan orang lain? Ampuni aku ya Rabb..” gumamnya bila
suatu saat ia berpikiran seperti itu.
Proyek
pembangunan masjid At-Taqwa sudah mendesak untuk dilakukan. Mengingat ruang
Masjid belakangan ini selalu saja terasa padat pada sertiap shalat Maghrib.
Setelah kedatangan Mahmud di masjid ini, memang kegiatan-kegiatan di masjid ini
menjadi hidup. Apa lagi padi hari besar islam, tentu ruang masjid dirasa sangat
kecil dan membutuhkan pemugaran.
“Mahmud,
menurutmu apa mula-mula yang harus kita lakukan untuk proyek pembangunan masjid?”
tanya Pak Rahmat suatu hari selepas shalat isya.
“menurut
saya kita harus membuat disainnya dulu pak.” Jawab Mahmud.
“ah..
benar sekali kau, coba kau buatkan disain untuk masjid ini mud!! Haha..” seru
Pak Rahmat “aku juga akan buat disain, nanti kita tentukan disain mana yang
akan di pilih pada rapat bulanan DKM.” Lanjut Pak Rahmat.
“aku
pulang Mud, jangan lupa kunci pintu masjid! Tapi ah.. kau memang tidak pernah
mengunci pintu masjid selama kau menjadi marbot.” Ujar Pak Rahmat tersenyum.
“assalaamualaikum” ucapnya mengakhiri obrolan.
“waalaikumus
salaam.” Jawab Mahmud sambil mencium tangan Pak Rahmat.
Obrolan
tersebut Pak Rahmat anggap sebagai basa-basi semata. Ia tak pernah benar-benar
berharap Mahmud membuat disain masjid. Bagaimana mungkin anak jalanan seperti
Mahmud mampu membuat rancangan bangunan. Pak Rahmat belum tahu siapa Mahmud.
Ya, Pak Rahmat memang tidak pernah tau latar belakang Mahmud yang sebenarnya.
Selain Pak Rahmat enggan untuk banyak bertanya, Mahmud sendiri pun tidak banyak
bercerita tentang hidupnya.
***
“hei
Mahmud, kemarilah nak! Ayo duduk di sini!” panggilan itu menyadarkan Mahmud
dari lamunannya. Ia kemudian melangkah menuju kursi tempat laki-laki tua
memanggilnya. Pak Rahmat.
Setelah mengucap
salam yang dibalas oleh keluarga Pak Rudi, ia mulai menyalami satu per satu
anggota keluarga Pak Mahmud yang sudah lama ia anggap sebagai anggota
keluaraganya sendiri. Ia amat sangat senang berada diantara keluarga ini. Dan
bila tidak ada aral melintang, beberapa saat lagi ia akan benar-benar menjadi
bagian dari keluarga ini.
“bagaimana kuliahmu
nak?” tanya Pak Rahmat.
“alhamdulillah saya
tinggal menyusun skripsi pak.” Jawab Mahmud.
“sykurlah kalau
begitu.” Seru Pak Rahmat pendek.
“ngomong-ngomong,
mengapa bapak ada di sini?” tanya Mahmud.
“lah.. kan bapak
hendak mengantarmu pulang ke rumahmu.” Seru Pak rahmat. “bapak hendak minta
maaf karena sudah membuatmu menjadi pekerja di Masjid At-Taqwa selama satu
tahun. Selain itu, bapak juga kan perlu kenal dengan besan bapak nanti” lanjut
Pak Rahmat mengoda.
Wajah Mahmud memerah
karena malu, ia pun sekilas melihat perubahan warna pada muka Zaenab. Anak Pak
Rahmat yang kini duduk di samping Pak Rahmat. Semalam memang Mahmud ditelepon
oleh Pak Rahmat yang secara tidak formal melamar dirinya untuk mempersunting
anak perempuan Pak Rahmat. Namun Mahmud masih ragu, apa Pak Rahmat betul-betul
mempersunting dirinya atau hanya sekedar guarauan.
Yang ia sadari, malam
tadi ia telah membuka semua kisah masa lalunya pada Pak Rahmat yang menyarankan
agar dirinya segera pulang ke rumah untuk meminta maaf pada kedua orang tuanya.
Selama empat tahun ini ia memang tak pernah tahu kabar keluarganya, yang ia
tahu mereka masih berada di desa yang sama. Itu ia tau dari mahasiswa yang
kebetulan mengenal Mahmud. Sungguh suatu keajaiban bagi Mahmud bahwa ia bisa
melanjutkan kuliah tanpa biaya dari orang tuannya.
***
Rapat DKM pun
dimulai, Pak Rahmat menunjukkan disain yang telah ia buat dalam rapat.
Berberapa peserta rapat merasa puas dan yang lain tidak.
“baiklah kalau
begitu, nanti saya coba lagi untuk mendisain ulang rencana masjid yang akan dibangun.”
Kata Pak Rahmat tersenyum kepada para peserta rapat.
Sekonyong-konyong
Mahmud mengangkat tangan. Pak Sholeh sebagi ketua DKM mempersilahkan Mahmud
untuk bicara.
“bapak-bapak yang
saya hormati, saya telah membuat disain masjid yang saya kira pas untuk
dibangun dan dipakai kelak.” Seru Mahmud mantap. Peserta rapat terkejut,
kemudian Mahmud memperlihatkan disain yang telah ia buat.
Disain yang ia buat
sangatlah bagus dan ditail. Dengan skala 1:100 ia membuat denah dan ilustrasi
masjid dengan gambar yang bagus. Dalam denah, ia juga menyediakan ruang
perpustakaan, ruangan pertemuan dan ruang pengajian anak-anak serta ibu-ibu
majelis ta’lim.
Semua orang kagum
dengan disain yang Mahmud bawa. Kemudian Pak Rahmat bertanya keheranan “siapa
yang membuat disain itu Mahmud?”
“saya sendiri pak.”
Jawab Mahmud lancar.
Peserta rapat pun
akhirny setuju untuk memilih disain yang dibuat Mahmud. Lalu dibentuklah
kepanitiaan Pemugaran Masjid At-Taqwa.
Setelah rapat
selesai, Mahmud mulai membereskan ruang utama masjid yang dipakai rapat. Ketika
itu, Pak Rahmat menghampiri Mahmud.
“apa kau hendak
bercerita pada bapak tentang masa lalumu Mud?” tanya Pak Rahmat. Yang ditanya
hanya diam. “ah.. sudahlah memang masa lalu itu kadang terasa menyakitkan.” Pak
rahmat diam sejenak kemudian melanjutkan ucapannya. “kamu anak yang pintar
Mahmud, ijazah pa yang kau miliki?” tanya Pak Rahmat.
“tak ada pak, saya
tidak punya ijazah” jawab Mahmud tertunduk.
“sayang sekali” ucap
Pak Rahmat. “sudahlah, cepat tidur Mud! Assalamualaikum.”
“alaikumus salaam”
jawab Mahmud
***
Hari pun berlalu, Pak
Rahmat akhirnya menyuruh Mahmud untuk mengikuti ujian persamaan SMA dengan
ijazah SMP yang Mahmud tidak tau bagaimana Pak Rahmat mendapatkannya.
Mahmud pun mengikuti
ujian dan akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Selanjutnya Pak Rudi
mengurusi keperluan Mahmud untuk kuliah di kota kembang, mengambil jurusan
Teknik Sipil. Mahmud sempat kebingungan bagaimana ia membeli perlengkapan
kuliah. Setelah mencari-cari uang yang mungkin terselip dalam pakaiannya. Ia
menemukan uang sejumlah lima juta rupiah di kantong celana yang dipakai dulu,
ketika ia pergi dari rumah. Itu uang pemberian ibunya. Ia tak pernah menyadari
keberadaan uang itu karena ia tak pernah lagi memakai barang yang ia bawa dari
rumahnya meski itu hanya pakaian. Ia lebih senang memakai pakaian yang
diberikan Pak Rahmat dan bekas marbot terdahulu.
Singkat cerita,
Mahmud memulai berkuliah di kota kembang. Ia mencari tempat kos yang pas bagi
kantongnya. Dengan bekal uang lima juta pemberian ibunya ia memulai segalanya
dengan baik. Ia tidak perlu memikirkan uang semesteran karena Pak Rahmat telah
berbaik hati siap menganggungnya. Namun untuk uang jajan dan lainnya Mahmud
harus berusaha mencarinya sendiri. Ia mulai membuka privat mengajar apapun yang
ia bisa ajarkan. Ia mencari peluang beasiswa di manapun yang ia dapat. Ia
selalu berusaha untuk bisa menghidupi dirinya sendiri meski tanpa menolak
pemberian dari Pak Rahmat.
Kini telah 3 tahun ia
kuliah, telah banyak prestasi yang ia dapatkan. Dengan izin Allah beberapa
bulan lagi ia akan menjadi Sarjana Teknik. Kabar baik lainnya, kemarin malam ia
telah dipinang oleh Pak Rahmat untuk menjadi menantunya.
Alangkah besar
karunia yang Mahmud rasakan. Hari ini, ia akan pulang ke rumah bersama calon
mertua dan istrinya. Ia akan meminta maaf pada ayah dan ibunya dan meminta
restu untuk perkawinannya.
Mahmud merasa bangga.
Ia terharu dengan apa yang telah Allah beri padanya. Dan tanpa ia sadari,
lagi-lagi bening air menetes dari ujung matanya.
Bandung, 2012
Adam Keturunan Adam
Komentar
Posting Komentar